Rabu, 14 Oktober 2009

Transisi Politik

Manusia secara terus menerus berubah baik dalam ruang lingkup kecil, seperti individu, atau dalam ruang lingkup luas, seperti negara. Perubahan ini disebabkan sifat dasar manusia ayang tidak pernah puas dan ingin selalu ingin lebih. Perubahan ini akan membutuhkan penyesuaian dalam diri manusia. Bentuk negara juga ikut berubah seiring dengan sejarah. Pada awalnya manusia hidup secara berkelompok dan mereka memilih yang paling kuat (primus inter pares) diantara mereka untuk menjadi pemimpin mereka. Manusia kemudian memutuskan untuk menentukan tujuan bersama dan membentuk sebuah lembaga untuk mewujudkan tujuan bersama tersebut, lembaga ini kemudian dikenal dengan negara. Manusia anggota sebuah negara akan menyerahkan kedaulatan yang ada pada dirinya kepada negara agar negara dapat berkuasa atas mereka.
Anggota masyarakat kemudian memilih pemimpin, pada awalnya, berdasarkan kelebihan, kekuatan, ekonomi, pengetahuan, atau keimanan, yang ada pada diri orang tersebut. Orang tersebut kemudian memimpin secara mutlak atas anggota masyarakat yang lain. Masyarakat kemudian merasa tidak puas akan hal ini kemudian membuat sebuah batasan yang membatasi pemerintahan pemimpin tersebut, yang disebut konstitusi. Konstitusi ternyata tidak cukup memuaskan kehendak rakyat kemudian muncul pandangan bahwa rakyat harus dilibatkan secara lebih dalam pengelolaan negara, seperti pembuatan peraturan atau pemilihan pemimpin. Hal ini lazim dikenal dengan nama demokrasi.[1]
Demokrasi mengambil 2 bentuk, yaitu: demokrasi sosialisme dan demokrasi liberal. Pada akhirnya dunia terbagi dalam 3 bagian, yakni:[2] (1) Dunia Pertama (First World), terdiri dari negara-negara demokrasi liberal yang mengembangkan industri mereka secara luas, (2) Dunia Kedua (Second World), terdiri dari negara-negara sosialis komunis yang cenderung untuk anti modal asing dan berusaha hidup mandiri. (3) Dunia Ketiga (Third World), negara-negara miskin dan berkembang secara ekonomi. Negara-negara ini kemudian menjadi ladang perebutan pengaruh oleh kedua kubu lainnya.[3]
Demokrasi sosialisme melihat keterlibatan rakyat dalam sebuah negara tidak lebih dari sebuah alat pemenuhan tujuan negara. Demokarasi jenis ini biasanya timbul akibat coup de etat. Pemimpin coup de etat, yang didukung rakyat dalam menggulingkan pemimpin sebelumnya, merasa rakyat telah memilih dia untuk memimpin karena dia tahu apa yang terbaik rakyat.[4] Pemimpin pada negara sosialis pada umumnya anti-imperialisme dan menganggap eksploitasi rakyat kecil adalah sebagai bentuk imperialisme oleh kaum pemilik modal atau industrialis.[5]
Sosialisme sendiri berdiri berdasarkan sebuah pemahaman di mana semua warga negara adalah sama untuk menghindari adanya kesenjangan sosial. Hal ini dilaksanakan melalui penguasaan pemerintah atas semua faktor-faktor industri serta jasa dan pendistribusian kemakmuran serta sumber daya. Karakteristik dari negara sosialis adalah intervensi pemerintah terhadap ekonomi, sentralisasi kekuatan politik melalui sistem satu partai didukung dengan suatu sistem birokrasi yang besar, kepemilikan pemerintah atas hak milik, dan penghapusan pasar bebas.[6]
Demokrasi liberal adalah sistem politik paling stabil di dunia. Demokrasi liberal saat ini merupakan pengembangan dari model demokrasi liberal klasik (Classical Liberalism). Demokrasi liberal klasik disusun untuk membatasi kekuasaan pemerintah melalui sebuah kontrak sosial, sebuah kontrak antara pemerintah yang menyatakan hak dan kewajiban masing-masing.[7]
Demokrasi liberal saat ini atau dikenal dengan istilah “Kapitalisme” adalah sebuah sistem demokrasi yang mempercayai kepemilikan perorangan, wewenang pemerintah dalam ekonomi yang terbatas, dan pengembangan pasar berdasarkan dorongan penawaran dan permintaan.[8] Akan tetapi tidak ada negara yang sepenuhnya melepas semuanya kepada mekanisme pasar. Peranan negara tetap diperluka karena jika sepenuhnya diserahkan ke dalam mekanisme pasar maka kelompok masyarakat paling bawah akan menjadi pihak yang paling menderita mengingat keterbatasan sumber daya yang mereka miliki.[9]
Adanya perbedaan kesejahteraan yang cukup mencolok antara negara sosialis dengan negara liberal menyebabkan banyak rakyat dari negara sosialis ingin negaranya berubah menjadi negara liberal. Banyak dari warga negara tersebut menginginkan terwujudnya “Welfare State” di negara mereka. Mereka menginginkan negara membuka cabang-cabang produksi agar dapat mereka kelola. Mereka juga ingin negara agar lebih terbuka kepada rakyatnya.
Pergerakan ini diakibatkan dari situasi tidak nyaman yang dialami oleh warga negara. Warga negara tidak menganggap negara tidak lagi memperjuangkan hak-hak mereka. krisis politik adalah sebuah situasi yang harus ditanggapi dengan segera sebelum membahayakan kehidupan sosial dan ekonomi secara luas.[10]
Perubahan ini, apabila berhasil dilakukan, akan menimbulkan transisi politik yang mengakibatkan perubahan atas konfigurasi politik negara tersebut. Perubahan konfigurasi politik ini menyebabkan adanya pergantian elit politik, golongan pendukung kekuasaan. Semua perubahan ini akan mengakibatkan perubahan produk hukum. Produk hukum yang diciptakan oleh rezim yang baru akan berusaha untuk menjinakkan cara-cara represi dalam menjalankan pemerintahan.[11] Rezim yang baru akan berusaha untuk membuat hukum sebagai panglima dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara dan berusaha agar hukum terlepas dari pengaruh politik.[12]
Kita ambil Jepang sebagai contoh. Jepang telah mengalami banyak perubahan dalam bentuk praktek politik kenegaraannya. Jepang dikenal sebagai sebuah negara monarkhi absolute yang menganggap kaisar mereka sebagai anak Dewa Matahari serta sangat mempelihara budaya feodalisme. Jepang mulai membuka diri kepada dunia luar saat “Restorasi Meiji”. Pada masa ini Kaisar Jepang menata kembali tatanan ekonomi, politik, serta kehidupan sosial mereka. Jepang kembali menutup diri saat Perang Dunia II karena krisis ekonomi, yang dianggap, disebabkan oleh Retorasi Meiji tersebut. Akan tetapi setelah masa pendudukan, dibawah pimpinan Supreme Commander for the Allied Powers (SCAP), Jepang kembali menyusun sistem politiknya dengan mengadakan pemilihan umum pada tahun 1946.[13] Jepang pada tahun 1947 memiliki konstitusi yang dijalankan sampai saat ini.[14]
Uni Soviet adalah salah satu contoh ekstrem perubahan sistem politik dalam sejarah dunia. Prinsip Glasnost and Perestroika (keterbukaan dan restrukturisasi ekonomi), yang dikenalkan oleh Mikhail Gorbachev, membawa era baru dalam kehidupan berpolitik di Uni Soviet. Sejumlah peraturan perundang-undangan dibuat untuk menjalankan prinsip tersebut, misalnya: peraturan tentang pers dan informasi, prosedur untuk berdiskusi di ruang publik, peraturan ketenagakerjaan, pembentukan badan usaha sosialis, dan lain-lain.[15] Peraturan-peraturan tersebut dibentuk untuk menjamin kebebasan dan keterlibatan warga negara dalam kegiatan ekonomi serta dalam menentukan kebijakan negara.[16]
Transisi politik sendiri juga terjadi di Indonesia pada medio 1997-1999. Pada masa tersebut terjadi pergeseran kekuatan politik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Rezim (alm) Soeharto yang telah memimpin selama 32 tahun berakhir akibat dari pergerakan rakyat (People Power). Rakyat Indonesia yang selama ini dikurung oleh sebuah rezim yang otoriter mulai bergerak menentang rezim tersebut.
Pemerintah yang menggantikan rezim tersebut mulai menggantikan produk-produk hukum yang diciptakan oleh rezim yang lama karena tidak demokratis dan bersifat otoriter. Pemerintah memulai dengan mengamandemen UUD 1945 agar praktek pemerintah yang otoriter tidak terulang lagi di masa yang akan dating. Amandemen tersebut juga ditujukan agar hak-hak warga negara dapat dijamin perwujudannya. Pemerintah tersebut kembali menegakkan demokrasi dengan kembali memainkan peranan rakyat dalam menentukan arah kebijakan pemerintah.
Pemerintah pasca gerakan reformasi masih diliputi pertanyaan besar tentang bagaimana penegakan hukum atas pelanggaran HAM yang terjadi pada masa pemerintahan yang lama. Pemerintah diharapkan mampu untuk menguak kebenaran yang ada di balik setiap kasus pelanggaran HAM yang terjadi. Sampai saat ini hanya ada satu komisi khusus untuk mengungkap kebenaran dari kasus pelanggaran HAM yaitu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi ini hanya berwenang untuk mengungkap kebenaran atas kejahatan pelanggaran HAM pada masa pendudukan Indonesia di Timor Timur. Sama seperti komisi kebenaran lain di dunia ini KKR hanya berwenang untuk mengungkap kebenaran tanpa ada upaya untuk mencarikan keadilan bagi para korban. Kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya, kasus penculikan orang, kasus DOM Aceh dan Irian, atau kasus Trisakti, sampai saat ini masih belum terungkap. Satu harapan besar bahwa pemerintah mampu untuk mengungkap kebenaran atas kejahatan tersebut serta mampu untuk memberi keadilan bagi para korban.
[1]Abraham Lincoln meformulasikan demokrasi sebagai pemerintahan untik rakyat. Hal ini berarti pemerintah bertindak berdasarkan atas kehendak rakyat (people preference). Perwujudan dari demokrasi adalah terbentuknya sebuah pemerintahan yang dibentuk dari perwakilan masyarakat yang dippilih secara bebas (freely elected) oleh rakyat. Pemilihan secara bebas di Indonesia tertuang dalam prinsip LUBER JURDIL (Langsung Umum Bebas Rahasia Jujur dan Adil) dalam PEMILU.
Dahl menyatakan ada 8 unsur yang harus dipenuhi oleh sebuah negara jika ingin dikatakan negara demokrasi. Unsur-unsur tersebut adalah: kebebasan untuk membentuk dan bergabung dalam sebuah organisasi, kebebasan untuk mengungkapkan pendapat, hak untuk memilih dalam pemilhan umum, kesempatan untuk menduduki jabatan negara, hak untuk dipilih dalam pemilihan umum, hak atas sumber informasi alternatif, pemilihan umum yang bebas dan adil, dan institusi yang membuat kebiajakan dan perarturan pemeritah harus sesuai dengan keinginan rakyat.
[2]John McCormick, Comparative Politics In Transition Fourth edition, (Wadsworth/Thomson, California: 2004), pg 4
[3]Masa perang dingin menjadi periode paling penting dalam perang pengaruh diantara 2 kekuatan politik besar saat itu. Perang dingin adalah sebuah masa pertempuran ide antara Uni Soviet dan Amerika Serikat bersama dengan sekutu-sekutu mereka. Kedua kekuatan tersebut tidak saja berebut pengaruh tetapi juga membangun kekuatan militernya masing-masing.
[4]Pemimpin negara demokrasi sosialis masih merasa negaranya adalah negara yang demokrasi karena adanya partai politik dan masih menjalankan pemilu. Akan tetapi gaya demokrasi yang dijalankan dalam negara sosialis serupa identik negara otoritarian. Pemerintah menentukan semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Partisipasi publik dalam menentukan kebijakan sengat kecil. Pemerintah hanya mengakui satu partai politik saja dan tidak memberi ruang kepada partai politik yang lain.
[5]T W Utomo, Che, Vive Sisi Lain Kehidupan Ernesto Guevara, (Selasar Surabaya Publishing, Surabaya: 2009), hal x
Ernesto “Che” Guevara memandang pemerintah Batista di Kuba telah mengeksploitasi rakyat Kuba melalui sebuah sistem kapital besar melalui jaringan internasional. Ia bersama dengan Fidel Castro berhasil untuk menggulingkan pemerintahan Batista di Kuba. Kesuksesan ini menjadi titik awal pemerintahan Fidel Castro di Kuba Hingga sekarang. Ernesto Guevara tewas pada saat membantu rakyat Bolivia pada tahun 1967.
[6]John McCormick, Op. cit, pg 172
[7]Ibid, pg 22
Ide umum yang ditawarkan dari konsep kontrak sosial adalah pemerintah akan mewakili keinginan rakyat dan rakyat akan mematuhi hukum. Perwujudan dari kontrak sosial adalah konstitusi yang menggambarkan wewenang pemerintah, batas dari wewenang pemerintah, serta hak dari warga negara.
[8]Ibid, pg 22
[9]Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, (Genta Publishing, Yogyakarta: 2009), hal 27
Campur tangan kekuasaan dibutuhkan untuk mencegah kemerosotan lebih jauh dalam kualitas hidup masyarakat. Negara menjamin kesejahteraan umum warganya dengan menyusun suatu program kesejahteraan sosial. Program-program tersebut antara lain: jaminan atas penghasilan minimum, perlindungan terhadap risiko bekerja, jaminan atas kesehatan, kehilangan pekerjaan, serta masa tua, penyediaan sarana umum seperti perumahan, pendidikan, dan kesehatan, dan memajukan kesejahteraan pribadi melalui aspirasi politik, kebudayaan, olah raga, dan sebagainya.
[10]Lawrence M Friedman, et al, ed, Law and Society: Readings on the Social Study of Law, (W.W Norton, New York: 1995) pg 236
[11]Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law 4th Edition, (Transaction Publisher, New Jersey: 2001), pg 53
[12]Ibid, pg 57
[13]John McCormick, Op. cit, pg 135
[14]Ibid, pg 140
[15]Albert J Schmidt, ed, The Impact of Perestroika On Soviet Law, (Martinus Nijhoff, Dordrecht: 1990) pg xxi
Perestroika dalam bahasa Inggris identik dengan istilah “rebuilding”, “reconstruction”, atau “restructuring”. Pada awalnya timbul pertanyaan apakah program ini akan meruntuhkan sistem Uni Soviet atau akan membentuk sistem yang ada from bottom to up atau apakah penyesuaian apakah yang harus dilakukan untuk menjalankan program ini. Program tersebut sendiri ditujukan untuk memajukan fungsi dari sistem yang ada dan mengembangkan partisipasi rakyat dalam bidang ekonomi dan politik.
Program Perestroika mengakibatkan aktivitas organisasi kemasyarakatan semakin tinggi. Penduduk juga ikut serta dalam menentukan kebijakan publik melalui penyampaian aspirasi, usulan peraturan dari warga negara, organisasi kemasyarakatan, dan institusi atau perusahaan, melalui Presidium of the USSR Supreme Soviet. Presidium tersebut akan menyampaikan aspirasi tersebut kepada Supreme Soviet Chambers yang akan diteruskan kepada sidang parlemen.
[16]Ibid, pg 34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar