Sabtu, 14 November 2009

Dampak Perubahan Konstitusi Terhadap Kekuasaan Presiden

Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Perjanjian adalah undang-undang bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut.[1] Perjanjian tersebut menyantumkan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Negara sebagai salah satu bentukan perjanjian, berdasarkan teori kontrak sosial, memerlukan sebuah perjanjian untuk mengatur hak dan kewajiban antara negara dengan rakyat yang dikuasainya.[2]
Teori kontrak sosial menyatakan bahwa rakyat mengadakan perjanjian antara mereka untuk menyerahkan kedaulatan yang ada dalam diri mereka kepada institusi negara agar mengatur dan menjaga ketertiban guna mencapai tujuan bersama tersebut. Organisasi negara menurut teori kontrak sosial mempunyai tujuan untuk kesejahteraan dan stabilitas. Teori ini juga memandang bahwa kekuasaan pemerintah yang berada dalam dirinya tidak terbatas (absolut) akan tetapi rakyat bebas untuk menentukan kehendak dan keinginan mereka jika konvensi yang telah dibuat tidak lagi berpihak pada kepentingan mereka.[3] Kekuasaan negara menjadi absolut karena kekuasaan tertinggi telah beralih ke dalam tangan negara.
Pada dasarnya kekuasaan negara lahir dan bersandar pada kehendak rakyat. Oleh karena negara telah menerima hak-hak dasar rakyatnya maka negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi berbagai kebutuhan rakyat. Hak-hak dasar tersebut diberikan kepada negara karena adanya tujuan bersama yang tidak mungkin terwujudkan jika diusahakan sendiri-sendiri. Negara pada nantinya akan berusaha untuk mewujudkan tujuan bersama demi kesejahteraan rakyatnya (common good/bonum publicum).[4]
Negara sebagai sebuah organisasi politik[5] yang ada untuk rakyat, dan bukan sebaliknya, saat memasuki abad ke-19 mengalami transformasi besar dalam pelaksanaan wewenangnya. Negara melalui pemerintah yang selama ini cenderung berkuasa absolut dan otoriter sedikit demi sedikit dibatasi wewenangnya. Negara melalui organnya tidak lagi dapat sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Rakyat menginginkan negara agar kembali menjalankan fungsi awalnya, yaitu sebagai alat untuk menjaga ketertiban umum serta sebagai alat untuk mencapai tujuan bersama dari masyarakat anggota negara.
Untuk membatasi kekuasaan negara tersebut maka dibuatlah konstitusi, paham pembatasan dengan konstitusi dikenal dengan istilah konstitusionalisme. Konstitusi adalah wujud dari perjanjian antara rakyat dan negara. Eric Barendt menyatakan konstitusi memiliki 2 arti. Pertama, konstitusi adalah dokumen tertulis yang menggambarkan wewenang dari parlemen, pemerintah, pengadilan, dan lembaga-lembaga negara lainnya.[6] Kedua, konstitusi adalah kumpulan dari aturan hukum (legal rules) dan aturan non hukum (non-legal rules).[7]
Pada suatu negara konstitusi memiliki arti penting sebagai dasar patokan guna mengatur negara dan pemerintahan. Pada suatu negara konstitusi pada hakekatnya adalah bentuk kontrak social yang dibuat dan disepakati oleh rakyat. Konstitusi memuat tidak saja peraturan hukum tetapi juga memuat norma-norma dan kaedah-kaedah yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh semua pihak dalam negara tersebut.
Pembentukan konstitusi pada dasarnya mengikuti sebuah peristiwa politik tertentu, seperti kemerdekaan sebuah negara ataupun terjadinya revolusi. Pembentukan sebuah dokumen konstitusi merupakan perwujudan dari kesamaan pandangan politik dan kepercayaan dari para pembentuknya.
Salah satu yang di atur dalam konstitusi adalah masalah pembagian kekuasaan. Pembagian kekuasaan ini adalah salah satu ciri penting sebuah negara demokrasi. Pembagian kekuasaan ini perlu dilakukan agar proses check and balances dalam sebuah negara dapat dilaksanakan. Kekuasaan negara tersebut dibagi ke dalam 3 cabang,[8] yaitu: (1) eksekutif, sebagai pemegang kekuasaan pelaksanan pemerintahan, (2) legislatif, sebagai pemegang kekuasaan pembuat undang-undang, dan yudikatif, sebagai pemegang kekuasaan penegakan keadilan.[9]
Pemisahan kekuasaan dalam sebuah negara mempunyai beberapa peranan penting.[10] Pertama, pemisahan kekuasaan penting dalam menciptakan masyarakat yang bebas. Kedua, mencegah terciptanya penguasa yang tiran. Hal ini terwujud dalam pemisahan kekusaan eksekutif dan legislatif. Kita tidak bisa membayangkan jika kekuasaan pembuat undang-undang dan pelaksana undang-undang berada dalam satu orang. Sejarah membuktikan tidak sedikit raja menjadi seorang tiran karena memegang kedua kekuasaan tersebut. Ketiga, terwujudnya sistem peradilan yang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Masyarakat dalam suatu negara membutuhkan suatu sistem peradilan yang bebas dari tekanan kekuasaan dalam menjalankan tugasnya. Lord Acton pernah menyatakan bahwa, “power tends to corrupt but absolute power tends corrupt absolutely.”
Indonesia sebagai salah satu negara demokratis turut menerapkan pembagian kekuasaan ini. Pembagian kekuasaan ini merupakan perwujudan dari jiwa Demokrasi Pancasila yang dianut oleh bangsa Indonesia. oleh karena itu dalam konstitusi, yaitu UUD 1945, diatur mengenai lembaga negara, fungsi, tugas, dan kewenangan dari lembaga negara tersebut, hubungan tata kerja antar lembaga negara, dan hubungan lembaga negara dengan warga negara.[11] Pada perkembangan berikutnya konstitusi juga berfungsi sebagai media rakyat untuk mengkonsolidasikan kedudukan politik dan hukum dengan mengatur kehidupan bersama demi mencapai cita-cita bersama.[12]
Pengaturan kekuasaan eksekutif dalam konstitusi cukup penting mengingat lembaga eksekutif pemegang kekuasaan dalam melaksanakan pemerintahan. Keputusan lembaga eksekutif berkenaan langsung dengan kepentingan rakyat. Perjalanan sejarah membuktikan bahwa banyak dari pemimpin menjadi otoriter karena tidak adanya batasan yang jelas mengenai pelaksanaan kekuasaan yang ada pada dirinya. Pada UUD 1945 kekuasaan presiden diatur dalam Bab III tentang kekuasaan pemerintahan negara.
B Pokok Permasalahan
1. Bagaimanakah pengaturan kekuasaan presiden dalam UUD 1945 setelah Amandemen ke-4?
2. Bagaimana nuansa politik setelah perubahan tersebut?






BAB II
KONSTITUSI DAN KEKUASAAN PRESIDEN
A. Konstitusi
CF Strong mendefinisikan konstitusi sebagai kerangka dari kelompok masyarakat yang diatur oleh hukum, di mana hukum tersebut membuat institusi permanen beserta dengan hak dan kewajiban dari wewenang institusi tersebut.[13] O Hood Phillips berpendapat bahwa konstitusi dapat dilihat dalam 2 aspek, yakni konstitusi dalam bentuk abstrak dan konstitusi dalam bentuk konkret.[14] Konstitusi dalam bentuk abstrak berarti konstitusi dalam kapasitasnya sebagai sistem hukum dan kebiasaan-kebiasaan yang menggambarkan komposisi dan kekuasaan lembaga negara serta mengatur hubungan antar lembaga negara serta hubungan lembaga negara dengan warga negara. Konstitusi dalam bentuk konkret adalah seperangkat dokumen hukum tertinggi yang mengatur tentang bagaimana pelaksanaan kehidupan bernegara.
AW Bradley dan KD Ewing mendefinisikan konstitusi menjadi 2 jenis, berdasarkan bentuknya. Pertama, konstitusi adalah sebuah dokumen yang mempunyai daya paksa yang membuat kerangka kerja dan fungsi utama dari organ negara serta menyatakan prinsip-prinsip bagaimana organ negara tersebut menjalankan fungsinya.[15]
Ada ciri-ciri khusus yang ditemukan pada negara-negara yang menerapkan konstitusi jenis ini, yaitu adanya badan pengadilan konstitusi yang berfungsi untuk menerapkan dan menginterpretasikan konstitusi tersebut manakala terjadi sengketa, seperti yang dapat ditemukan di Amerika Serikat, Jerman, dan Indonesia. Kedua, konstitusi adalah seperangkat hukum, aturan, dan praktek yang menciptakan institusi dasar sebuah negara beserta dengan perangkat dan bagian-bagian yang berhubungan dengan institusi tersebut. Konstitusi ini dapat ditemukan di negara Inggris dan beberapa negara commonwealth, seperti Selandia Baru.[16]
Bolingbroke mendefinisikan konstitusi sebagai:[17]
“By constitution, we mean, whenever we speak with propriety and exactness, that assemblage of laws, institutions and customs, derived from certain fixed principles of reason…that compose the general system, according to which the community had agreed to be governed”.
Kita, berdasarkan definisi Bolingbroke, dapat menyimpulkan bahwa konstitusi adalah dasar pembentukan hukum, hukum kebiasaan, dan institusi yang telah disetujui oleh masyarakat. Tom Paine berpendapat bahwa konstitusi merupakan antisenden dari negara.[18] Dia berpendapat bahwa negara ada karena konstitusi dan bukan konstitusi ada karena negara. Dia juga memandang bahwa kekuasaan tanpa konstitusi adalah kekuatan tanpa alas hak yang sah. Duheime.org mendefenisikan konstitusi sebagai,
“the basic laws of nation or state which sets out how that state will be organized by deciding the powers and authorities of government between different political unit, and by stating the basic law-making and structural principles of society”.[19]
Sovernin Lohman berpendapat bahwa dalam konstitusi terdapat 3 unsur yang sangat menonjol, yakni:[20]
Konstitusi dipandang sebgai kontrak sosial, kesepakatan bersama antar rakyat untuk membina negara dan pemerintahan yang akan mengatur mereka.
Konstitusi sebagai piagam yang menjamin HAM sekaligus untuk menentukan batas-batas hak dan kewajiban warga negara dan alat-alat negara.
Konstitusi sebagai kerangka bengunan pemerintahan (forma regimenis).
Pada dasarnya konstitusi merupakan patokan dasar yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
A.1 Perubahan Konstitusi
Negara Indonesia sebagai negara demokrasi yang pluralistis sudah selayaknya mempunyai konstitusi yang dapat mengakomodir kebutuhan ini. Penyediaan akan konstitusi yang seperti itu bertujuan agar tercipta sebuah masyarakat madani dalam negara Indonesia.[21] Konstitusi tersebut pada nantinya diharapkan agar benar-benar hidup sebagai hukum dasar dalam kehidupan bernegara.
Konstitusi tersebut hendaknya dibuat sesuai dengan semangat jiwa bangsa Indonesia, yang tercantum dalam Pancasila. Oleh karena itu para our founding fathers memuat 7 butir pokok dalam konstitusi kita, UUD 1945, yakni:[22]
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)
Pemerintahan berdasar atas konstitusi
Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Presiden ialah penyelenggara pemerintah tertinggi di bawah Majelis.
Presiden tidak bertanggung jawab pada Dewan Perwakilan rakyat.
Menteri negara adalah pembantu presiden.
Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas.
Akan tetapi seiring dengan amandemen UUD 1945 beberapa butir pokok tersebut menjadi tidak lagi berlaku.[23] Ketidakberlakuan tersebut tidak lebih dari penyesuaian terhadap perkembangan masyarakat sehingga konstitusi harus menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat yang terjadi.
CF Strong menyatakan ada 4 cara mengubah konstitusi, yaitu:[24] (1) perubahan oleh lembaga legislatif dengan pembatasan tertentu, keputusan harus memenuhi kuorum tertentu, (2) perubahan konstitusi oleh rakyat melalui referendum yang didahului dengan usulan dari badan legislatif, (3) perubahan konstitusi diputuskan oleh negara-negara bagian dalam negara serikat, dan (4) perubahan konstitusi oleh konvensi konstitusi, badan khusus atau konstituante. Arend Lijphart membagi perubahan konstitusi tersebut dalam 3 tipe yakni: (1) perubahan berdasarkan atas suara mayoritas murni, setengah lebih satu, (2) perubahan berdsarkan atas suara mayoritas khusus, missal berdasrkan atas 2/3 atau 3/4 suara, dan (3) perubahan yang disiapkan oleh legislatif namun harus memperoleh persetujuan rakyat melalui referendum.[25]
Perubahan UUD 1945 terfokus pada perubahan sistem pelembagaan dan hubungan antar lembaga negara, sistem pemerintahan lokal, jaminan atas pelaksanaan HAM, dan berbagai sistem dalam penyelenggaraan negara, seperti PEMILU, pendidikan, atau perekonomian. Perubahan ini disebabkan karena peranan sentral MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Hal ini mengakibatkan ketiadaan checks and balances dalam pelaksanaan negara. Alasan berikutnya adalah besarnya kekuasaan presiden, selain pemegang kekuasaan eksekutif presiden juga memegang kekuasaan legislatif.
A.2 Kekuasaan Presiden dalam UUD 1945
Peranan presiden dalam sebuah negara sangat penting. Clinton Rositter mencatat ada 4 fungsi penting seorang presiden.[26] Pertama, presiden adalah kepala negara, posisi kepala negara adalah perlambagan sebuah negara. Kedua, presiden adalah kepala pemerintahan. Presiden melaksanakan tugas memimpin pemerintahan rakyat. Presiden berwenang segala tindakan administrasi negara. Ketiga, presiden sebagai diplomat utama. Presiden bertugas untuk mewakili negara dalam menjalin hubungan negara lain. Keempat, presiden adalah panglima tertinggi angkatan bersenjata. Oleh karena itu presiden memegang kekuasaan tertinggi sipil maupun militer.
Penyelenggaraan negara dalam arti sempit hanya terbatas pada sistem kerja fungsi pemerintahan yang dilaksanakan oleh Presiden. Oleh karena itu dalam UUD 1945 peraturan mengenai pelaksanaan pemerintahan terpusat pada lembaga Eksekutif, dalam hal ini Presiden.[27] Pada masa rezim Orde Baru kekuasaan ini dimaknai secara berbeda sehingga memungkinkan Presiden untuk melaksanakan kekuasaan secara luas sehingga terjadi sebuah fenomena yang disebut dengan “hegemoni pemaknaan negara”. Prof Ismail Sunny membagi kekuasaan presiden, berdasarkan UUD 1945, menjadi: kekuasaan administratif; kekuasaan legislatif; kekuasaan yudikatif; kekuasaan militer; kekuasaan diplomatik; dan kekuasaan darurat.[28] Oleh rezim tersebut konstitusi dijadikan alat rekayasa untuk menciptakan dan melanggengkan kekuasaannya.[29] Konstitusi dijadikan alat pembenaran bagi penguasa menjalankan kekuasaan yang otoriter, sentralisitis, tertutup, dan cenderung koruptif.
Periode Reformasi, yang ditandai dengan jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, menjadi babak baru kekuasaan presiden di Indonesia. Perhatian pertama pasca jatuhnya rezim tersebut adalah bagaimana membatasi kekuasaan presiden sehingga kekuasaan yang absolut dan tiran tidak terulang lagi di masa yang akan datang. Konstitusi yang pada awalnya tidak membatasi masa jabatan presiden diamandemen sehingga seorang presiden hanya dapat memangku jabatan tersebut selama 10 tahun.[30]
Pasca reformasi kekuasaan presiden sebagai pemegang kekuasaan penyelenggaraan pemerintah dibagi, hanya, menurut Bagir Manan, menjadi 2 jenis, yakni:[31] penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat umum dan khusus. Penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat umum terkait dengan semua kegiatan administrasi negara. Kekuasaaan penyelenggaraan pemerintah yang bersifat adalah semua tindakan presiden terkait dengan hak prerogative presiden sesuai dengan UUD 1945.
Presiden setelah masa reformasi mengemban secara langsung kedaulatan rakyat. Hal ini dimungkinkan melihat kenyataan bahwa presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Calon presiden dan calon wakil presiden termasuk dalam satu paket karena dianggap Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu kesatuan dalam lembaga kepresidenan.[32]
Kekuasan presiden dalam bidang legislatif dipangkas dengan hanya mampu untuk mengusulkan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Sebelumnya presiden memegang kekuasaan untuk membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR.[33] Kewenangan ini membuat Presiden memegang kekuasaan legislatif sekaligus eksekutif. Hal ini memampukan presiden untuk berbuat absolut karena sistem pembagian kekuasaan menjadi tidak jelas karena DPR hanya berfungsi untuk memberi persetujuan saja. Amandemen terhadap aturan tersebut mengalihkan kekuasaan sepenuhnya kepada DPR sebagai lembaga legislatif.
Walaupun telah dibatasi wewenang kekuasaan legislatif, presiden masih memiliki hak untuk mengajukan RUU kepada DPR. Presiden juga masih memegang kekuasaan legislatif khusus di bidang penerimaan dan belanja negara, DPR dan DPD tidak mempunyai wewenang ini. Presiden juga harus tetap dimintai persetujuannya dalam membahas sebuah RUU.
Perubahan ini mengakibatkan berubahnya produk-produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintah. Pemerintah menjamin akan pelaksanaan HAM dengan mengeluarkan UU HAM. UU ini akan menjamin bahwa setiap hak-hak dasar rakyat dijamin pemenuhannya oleh pemerintah. Pemerintah kini menjamin kebebasan pers dengan UU Pers. Kebebasan berpendapat juga dijamin dengan dicabutnya UU Subversif, yang selama ini menjadi dasar untuk menahan berbagai orang yang dianggap sebagai lawan politik dari pemerintah.





BAB III
KESIMPULAN
Rousseau berpendapat betapa sulitnya untuk menentukan pemerintah yang baik karena pandangan tiap-tiap orang terhadap pemerintahan yang baik berbeda-beda. Akan tetapi ia menyatakan bahwa pemerintah yang buruk adalah pemerintah yang masyarakatnya menyusut ataupun berkurang. Ketika masyarakat sudah merasakan bahwa pemerintah yang mereka patuhi selama ini adalah pemerintah yang buruk maka mereka akan berusaha untuk melawan penguasa tersebut. perlawanan tersebut dilakukan agar terjadi titik keseimbangan antara rakyat dengan penguasa. Salah satu cara untuk mencapai titik keseimbangan tersebut adalah perubahan konstitusi.
Indonesia adalah sebuah negara besar dengan sejarah otoritarianisme yang panjang. Selama hampir 350 tahun bangsa Indonesia “bertahan” dalam pemerintahan otoriter penjajah. Setelah merdeka bangsa Indonesia berada di bawah pemerintahan rezim Orde Lama. Selepas dari pemerintahan Orde Lama, Indonesia diperintah oleh rezim Orde Baru yang pada awalnya diharapkan mampu untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Akan tetapi lama kelamaan rezim ini menjadi rezim tiran yang koruptif, kolutif, dilusif, otoriter, dan sebuah tiran yang berdiri atas jaringan kronikal yang kuat.
Rakyat Indonesia, yang pada akhirnya melawan, menggulingkan rezim-rezim tersebut menginginkan pada nantinya negara ini tidak lagi dipimpin oleh pemimpin yang otoriter. Untuk itu perlu merubah konstitusi yang ada dengan memperhatikan makna historis yang terdapat dalam setiap pasal dalam konstitusi tersebut.
Setelah reformasi kekuasaan presiden tidak lagi seluas dahulu. Sistem check and balances yang hanya tertuang dalam sekedar konsep kini direalisasikan dalam pengaturan UUD 1945 yang telah diamandemen. Presiden tidak lagi menjadi pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif tertinggi.
Perubahan ini membawa perubahan dalam tindakan dan produk-produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pemerintah kini tidak dapat lagi bertindak otoriter ataupun mencari pembenaraan atas tindakan atau mempertahankan kekuasaan dengan memanipulasi konstitusi. Rakyat mempunyai akses yang kuat dalam mengawasi dan mengevaluasi kinerja pemerintah.
[1]Indonesia (a), Kitab Undang-undang Hukum Perdata, psl 1338
Prof Subekti mendefinisikan perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang tersebut saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Perjanjian tersebut pada nantinya akan menimbulkan perikatan. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan.
[2]JJ Rousseau, Du Contract Social ,diterjemahkan oleh Vincent Bero, (Visi Media, Jakarta: 2009) hal 53
Rosseau menggambarkan keberadaan negara merupakan hasil konvensi dari rakyat yang berada dalam penguasaannya. Rosseau berpendapat bahwa rakyat mengikatkan diri mereka untuk menjalankan kondisi-kondisi yang sama dan menikmati hak-hak yang sama pula. Rakyat berharap bahwa nantinya setelah pengikatan diri tersebut akan tercipta sebuah keseimbangan dan kekompakan sosial.
[3]Ibid, hal 54
Rousseau berpendapat bahwa jika bukan karena tidak lebih dari perwujudan dari kehendak umum, pemerintah tidak mungkin dapat teralienasikan dan pemerintah merupakan kumpulan manusia. Rousseau berpendapat bahwa kekuasaan dapat diwakilkan tapi tidak dengan kehendak umum.
[4]Musthafa Kamal Pasha, et al, Pendidikan Kewarganegaraan (Civics Education), (Citra Karsa Mandiri, Yogyakarta: 2002), hal 20
[5]O Hood Phillips, Paul Jackson, Patricia Leopold, Constitutional Law and Adminstrative Law¸ (Sweet and Maxwell, London: 2001), pg 4
Tujuan negara Indonesia, sebagaimana tercantum pada Pembukaan UUD 1945, adalah melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Mereka mendefinisikan negara sebagai sebuah organisasi politik yang independen yang berada pada suatu daerah tertentu, dimana para anggotanya bersatu untuk bertahan dari kekuatan luar serta untuk menjaga ketertiban di dalam anggota organisasi negara tersebut. akan tetapi mereka menyadari bahwa seiring perjalanan zaman tugas negara semakin berkembang, tidak hanya terbatas pada dua fungsi yang telah disebutkan di atas.
Sebuah negara modern diharapkan mampu untuk menghadapi permasalahan social yang semakin banyak dan semakin beragam, baik dengan tindakan ataupun dengan peraturan. Untuk melaksanakan fungsi tersebut maka negara diperlengkapi dengan organ-organ negara.
Woodrow Wilson mendefinisikan negara sebagai kelompok orang yang terorganisasi berdasarkan hukum yang berada dalam sebuah wilayah yang pasti. Kelompok orang tersebut sering disebut dengan masyarakat. Masyarakat sendiri didefinisikan sebagai hubungan antar sekelompok orang. Oleh karena itu CF Strong mendefinisikan negara sebagai kelompok masyarakat yang tergabung secara politik.
[6]Eric barendt, An Introduction to Constitutional Law, (Oxford, Oxford University Press: 1998), pg 1
Karakter utama konstitusi dalam hal ini adalah pembatasan akan wewenang dari badan legislatif dan pemerintah. Hal ini umum ditemukan pada negara-negara demokrasi yang sangat menjaga hak-hak dasar manusia (hak asasi manusia). Untuk menjamin pelaksanaan pembatasan ini dapat dipaksakan oleh pengadilan.
[7]Ibid, pg 1
Definisi konstitusi seperti ini dapat dilihat di Negara Inggris. Inggris tidak mempunyai dokumen tertulis yang secara jelas dapat diidentifikasi atau dinyatakan sebagai konstitusi. Walaupun Inggris mempunyai banyak peraturan, berdasarkan isinya, yang mempunyai karakter konstitusi namun aturan-aturan tersebut tetap berdiri sendiri-sendiri, tidak ada usaha untuk mengkodifikasikan aturan-aturan tersebut ke dalam satu buah dokumen hukum.
[8]Jimly Asshiddiqie (a), Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Konstitusi Press, Jakarta: 2006), hal 35
[9]Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, (Kreasi Total Media, Yogyakarta: 2007), hal 9
Montesquieu menyatakan bahwa jika eksekutif dan legislatif berada dalam tangan satu orang maka tidak aka nada kebebasan (liberty) dalam negara itu. Ia juga menyatakan bahwa kebebasan berpolitik adalah suatu hal yang harus diperjuangkan dan manusia cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan. Untuk mencegah hal itu adanya suatu pembagian kekuasaan agar terjadi sebuah keseimbangan kekuasaan dan masing-masing kekuasaan dapat saling menjaga satu sama lain.
Aturan dalam konstitusi, berkaitan dengan hubungan politis antar lembaga negara, akan memberi gambaran yang jelas tentang bagaimana pembagian kekuasaan tersebut akan dilaksanakan.
[10]Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, (Kencana Prenada Media, Jakarta: 2009), hal 11
CF Strong berpendapat bahwa pembagian kekuasaan ini disebabkan karena adanya proses spesialisasi fungsi dari tiap-tiap lembaga negara. Fenomena ini dapat diamati pada semua bidang pemikiran dan tindakan peradaban yang semakin maju karena berambahnya bidang aktivitas dan organ-organ pemerintahan yang semakin kompleks.
[11]Soehardjo, Beberapa Pemikiran tentang Hukum, Konstitusi, dan Demokrasi, (Dahara Prize, Semarang: 1990), hal 16
[12]Ellydar Chaidir, Op. cit, hal 43
Benjamin Franklin menyatakan bahwa,” The Constitution only gives people the right to pursue happiness. You have to catch it yourself.”
[13]CF Strong, Modern Political Constitutions An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Forms, (Sidgwick&Jackson, London: 1972), pg 13
[14]O Hood Phillips, et al, Constitutional and Administrative Law, (Sweet and Maxwell, London: 2001), pg 5
[15]AW Bradley dan KD Ewing, Constitution and Administrative Law, (Longman, London: 2003), pg 3
[16]Ibid, pg 5
House of Lords pada tahun 2001 sebuah komite untuk membahas dampak konstitusional terhadap undang-undang public yang diajukan kepada House of Lords dan memeriksa pelaksanaan konstitusi. Komite tersebut mendefisikan konstitusi sebagai berikut:
“the set of laws, rules, and practices that create the basic institutions of state, and its component and related parts, and stipulates the powers of those institutions and relationship between different institutions and between those institutions and the individuals”.
Konstitusi di sistem ini ditemukan secara tersebar dalam Putusan Parlemen atau putusan pengadilan, praktek politik yang berkembang pada negara tersebut, atau pada aturan-aturan di tiap-tiap institusi negara mengenai pelaksanaan wewenang atau hak mereka.
[17]Ellydar Chaidir, Op. cit, hal 22
[18]AW Bradely dan KD Ewing, Op. cit, pg 5
[19]http://duhaime.org/LegalDictionary/C/Constitution.aspx, diakses pada tanggal 25 Oktober 2009
[20]Musthafa Kamal Pasha, Op. cit, hal 70
[21]Jimly Asshiddiqie (b), Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, (FH UII Press, Yogyakarta: 2005), hal 1
[22]Soehardjo, Op. cit, hal 17
Tujuh butir pokok tersebut merupakan dasar atas perwujudan pelaksanaan demokrasi yang berdsarkan atas Pancasila.
[23]Salah satu butir yang tidak berlaku adalah butir mengenai MPR sebagai lembaga pemegang kekuasaan tertinggi. Istilah lembaga pemegang kekuasaan tertinggi dinilai tidak tepat karena MPR tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga yang melakukan kedaulatan rakyat karena disamping MPR masih ada lembaga negara yang lain yang juga melaksanakan kedaulatan rakyat. Salah satu contohnya adalah lembaga kepresidenan, Presiden kini dipilih langsung oleh rakyat, yang mana merupakan salah satu perwujudan kedaulatan rakyat. Presiden dengan demikian merupakan pelaku dan pelaksana kedaulatan rakyat.
[24]CF Strong, Modern Political Constitution, (Sidgwick & Jackson, London: 1952), pg 146-148
Perubahan konstitusi berkaitan dengan sifat rigiditas atau fleksibelitas konstitusi tersebut. sebuah konstitusi dikatakan bersifat rigid karena konstitusi tersebut telah dibuat berorintasi ke pada masa depan sehingga perubahan akan konstitusi tersebut harus dipertimbangkan secara sungguh-sungguh. sebuah konstitusi dikatakan fleksibel karena memang konstitusi tersebut dengan mudah dapat diubah. Hal ini dikarenakan konstitusi tersebut dibuat tidak berorientasi ke depan. Soekarno sendiri mengakui bahwa UUD 1945 merupakan konstitusi revolusi, dibuat dalam waktu yang cepat, sehingga sangat terbuka untuk disempurnakan di masa depan.
[25]Arend Lijphart, Democracies: Patterns of Majoritarian and Consensus Governemnt in Twenty-One Centuries, (Yale University Press, New Haven: 1984), pg 189
[26]Abdul Ghoffar, Op. cit, hal 14
[27]Didit Hariadi Estiko, ed, Amandemen UUD 1945 dan Implikasinya Terhadap Pembangunan Sistem Hukum Nasional, (Tim Hukum Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekertaris Jenderal DPR-RI, Jakarta: 2001), hal 2
Presiden menurut pasal 4 ayat (1) UUD 1945 memegang kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan pemerintahan, jika merujuk pada sistem presidensial, presiden mempunyai 2 kapasitas, yakni sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Dampak dari penggabungan 2 jenis adalah adanya pembedaan terhadap kebutuhan juridis untuk membedakan kedua jenis kapasitas mengenai pengaturan yang bersifat teknis dan operasional, seperti jabatan sekertaris dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara dan dalam kapasitasnya sebagai Kepala Pemerintahan. Walaupun terdapat perbedaan kapasitas tetapi sangat sulit untuk menetukan kapasitas presiden dalam surat keputusan yang dikeluarkannya.
[28]Abdul Ghoffar, Op. cit, hal 76
[29]Didit Hariadi Estiko, Op. cit, hal 3
Salah satu contoh yang bisa dilihat adalah UU Bidang Politik tahun 1985, melalui undang-undang tersebut pemerintah merekayasa kekuatan-kekuatan sosial politik. Contoh lain adalah tidak berfungsinya DPR sebagai lembaga control pemerintah. Pemerintah merekayasa sedemikan rupa sehingga DPR tidak lagi menjadi lembaga control tetapi justru lembaga pendukung pemerintah. Fungsi pers sebagai alat kontrol sosial dilumpuhkan dengan pembentukan SIUPP, setiap pers yang tidak mendukung dan cenderung melawan terhadap kekuasaan yang ada dilumpuhkan dengan pencabutan SIUPP.
[30]Abdul Ghoffar, Op. cit, hal 3
[31]Ibid, hal 99
[32] Jimly Asshiddiqie (c), Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, (Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta: 2002), hal 8
Sebelumnya wakil presidenmerupakan calon presiden yang kalah dalam pemilihan di MPR. Sistem pemerintahan seperti ini dapat mengakibatkan ketidakstbilan politik. Kini presiden dan wakil presiden dapat dipandang sebagai sebuah kemitraan, wakil presiden tidak lagi dipandang sebagai pelengkap saja tetapi juga tidak mempunyai kekuasaan presiden seperti presiden.
[33]Ibid, hal 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar