Rabu, 25 November 2009

ASEAN HUMAN RIGHTS BODY: Badan Pengawas Pelaksanaan HAM di Wilayah Asia Tenggara


BAB I
PENDAHULUAN
Eksistensi organisasi internasional dalam pergaulan antar bangsa semakin meningkat dalam kurun waktu beberapa dasawarsa terakhir. Praktek-praktek internasional dalam kurun waktu telah memperluas jangkauan atas masalah-masalah yang jauh melampaui batas-batas negara semata-mata.[1] Oleh karena itu dibiutuhkan sebuah entitas hukum yang dapat memecahkan atau memberi solusi atas permasalahan yang timbul antar batas negara.
Kedudukan organisasi internasional sebagai subjek hukum tidak dapat diragukan lagi kedudukannya sekarang.[2] Perkembangan organisasi internasional pada saat ini lebih didasarkan pada kebutuhan praktis antar negara dalam berinteraksi satu sama lain jika dibandingkan dengan alasan filosofi, menciptakan sebuah pemerintahan dunia.[3] Organisasi internasional pada masa kini menganggap kerja sama antar pemerintahan negara sebagai sebuah hal yang penting. Perkembangan interaksi antar negara sangat penting dalam mengembangkan teknologi, ekonomi, budaya, dan ilmu pengetahuan. Perkembangan interaksi antar batas negara tersebut didukung dengan perkembangan teknologi informasi.
Pembentukan organisasi intenasional berdasarkan konvensi-konvensi internasional telah memuat ketentuan konstitusional yang mengatur tentang tugas dan fungsi organisasi ini. Konvensi ini merupakan konstitusi yang menjadi dasar tindakan dan pembentukan aturan-aturan yang berlaku bagi anggota dari organisasi internasional tersebut. Konvensi ini juga menyatakan bagaimana sebuah negara dapat ikut serta dalam organisasi international tersebut.[4]
International Court of Justice menyatakan, mengingat organisasi internasional juga dapat mengemban hak dan kewajiban sebagaimana subjek hukum yang lain, bahwa Persatuan Bangsa-Bangsa beserta organisasi internasional lainnya adalah person internasional.[5] Status person internasional ini tidak saja diberikan oleh PBB beserta dengan organ-organ yang berada di dalamnya tetapi juga kepada organisasi-organisasi regional dan komunitas-komunitas berdasarkan syarat-syarat konstitusi.[6] Kita dapat mengambil NATO sebagai contoh, NATO mendapat status person internasional berdasarkan Pasal 4 Konvensi 1951.
ASEAN sebagai salah satu organisasi regional mempunyai peranan penting dalam pergaulan dunia. Hal ini tidak lepas dari peranan negara-negara Asia Tenggara di dunia. Selepas dari Perang Dunia II dan pada masa Perang Dingin, negara-negara Asia Tengara menjadi “rebutan” bagi negara-negara besar pada saat itu, seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, atau Jepang. Negara-negara di Asia Tenggara dianggap mempunyai potensi sebagai sumber bahan baku, pasar, atau pangkalan militer.
ASEAN dibentuk berdasarkan Deklarasi Bangkok pada 8 Agustus 1967 yang ditandatangaini oleh Adam Malik (Indonesia), S Rajaratman (Singapura), Tun Abdul Razak (Malaysia), Thamat Khoman (Thailand), dan Narsico Ramos (Filipina).[7] Pembentukan perhimpunan ini didasarkan pada adanya kepentingan timbal balik di antara negara-negara Asia Tenggara dan atas keyakinan akan perlunya memperkokoh soldaritas dan kerja sama regional dalam upaya mewujudkan stabilitas di wilayah Asia Tenggara. Stabilitas tersebut dapat diwujudkan melalui kerja sama ekonomi dan sosial budaya dalam menunjang pembangunan nasional masing-masing anggotanya.[8] Deklarasi Bangkok mengandung keinginan politik para penandatangannya untuk hidup berdampingan secara damai serta mengadakan kerja sama regional.
Pada awal pembentukannya ASEAN bertujuan untuk menekan pengaruh komunisme yang tengah dikembangkan oleh Vietnam Utara dan Cina, antikomunisme pada saat itu menjadi faktor pengikat antara negara anggota ASEAN pada waktu itu.[9] Pada perkembangan selanjutnya, seiring dengan berkurangnya ancaman komunisme, ASEAN lebih memfokuskan diri pada pengembangan ekonomi regional. ASEAN juga memfokuskan diri pada demokratisasi yang dapat mendukung pengembangan perekonomian.
Seiring dengan perkembangan zaman masalah yang harus dihadapai oleh ASEAN tidak hanya seputar permasalahan di bidang ekonomi saja. Permasalahan batas wilayah antar anggota, masalah keamanan, masalah politik, dan masalah penegakan hak asasi manusia adalah masalah-masalah yang harus dihadapi oleh ASEAN pada masa kini.
Isu hak asasi manusia adalah salah satu isu sentral dalam pembentukan ASEAN Charter.[10] Para anggota ASEAN pada dasarnya sudah sejak lama menginginkan adanya suatu badan khusus di dalam diri ASEAN yang mengurusi masalah hak asasi manusia.[11]

Pokok Permasalahan
Bagaimana ASEAN menyelesaikan permasalahan hak asasi manusia di dalam negara anggota ASEAN sebelum terbentuknya ASEAN Charter dan ASEAN Human Rights Body?
Bagaimana peranan ASEAN Human Rights Body dalam menyelesaikan permasalahan hak asasi manusia di dalam negara anggot ASEAN?









BAB II
ASEAN HUMAN RIGHTS BODY
I. ASEAN Sebagai Badan Penyelesai Konflik
Pada dasarnya ASEAN merupakan organisasi ekonomi, sosial, dan budaya. Akan tetapi jika dilihat lebih mendalam kita dapat melihat ASEAN sebagai sebuah organisasi politik yang bersifat regional. Hal ini dapat terlihat pada Deklarasi Bangkok yang merupakan perwujudan dari komitmen politik penguasa antar negara yang berada di wilayah Asia Tenggara untuk bersatu dalam menghadapi pergolakan dunia, baik yang berasal dari internal wilayah maupun dari eksternal wilayah.[12] Pada ASEAN Charter anggota ASEAN menyatakan bahwa mereka dipersatukan karena adanya kepentingan bersama dan saling ketergantungan. Anggota ASEAN juga menyadari adanya kebutuhan untuk hidup di dalam kawasan yang damai, keamanan dan stabilitas, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, kesejahteraan bersama dan kemajuan social, serta untuk memajukan kepentingan, cita-cita, dan aspirasi bersama yang utama.
Kerja sama dalam bidang politik dan keamanan ini penting karena kawasan ASEAN merupakan kawasan yang sangat rentan dalam terkena krisis. Krisis tersebut lahir diakibatkan dari dalam internal anggota ASEAN sendiri, seperti krisis perbatasan[13], atau krisis yang datang dari luar anggota ASEAN, seperti krisis ekonomi.
Kerja sama di bidang politik baru dimasukan ke dalam agenda resmi ASEAN pada KTT ASEAN I, dengan ditandatanganinya The Declaration of ASEAN Concord dan Treaty of Amity and Cooperation in South East Asia (TAC).[14] ASEAN Concord ini menjadi dasar dalam kerja sama politik di negara ASEAN, sebelum disahkannya ASEAN Charter.
Oleh karena itu ASEAN mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan krisis-krisis yang terjadi di dalam kawasan. Hingga tahun 1976 ASEAN belum mempunyai suatu lembaga yang dapat menyelesaikan konflik di antara sesama anggota. Pertikaian antar anggota diselesaikan secara bilateral, antara negara yang mengalami konflik saja. Konflik antar anggota tidak dapat dibicarakan dalam forum ASEAN dan anggota ASEAN yang lain tidak dapat menyampaikan pendapat mengenai permasalahan tersebut karena dapat dianggap melanggar prinsip non internvensi.[15] Keterlibatan pihak ketiga hanya dapat dilaksanakan apabila para pihak yang bersengketa menyetujui keterlibatan pihak ketiga tersebut dan tidak melibatkan ASEAN sebagai sebuah institusi politik.[16]
Alat penyelesaian konflik di dalam tubuh ASEAN yang pertama adalah Treaty of Amity and Cooperation in South East Asia (TAC). TAC merupakan satu-satunya instrument penyelesaian konflik yang dilakukan melalui instrument diplomatik. TAC juga menyatakan prinsip-prinsip dasar dalam berhubungan antar anggota ASEAN serta mengadakan rencana kerja sama anggota ASEAN untuk bekerja sama. Negara anggota ASEAN berharap melalui TAC diantara mereka dapat mengembangkan perdamaian, persahabatan, dan kerja sama yang saling menguntungkan yang dapat memperjelas eksistensi negara wilayah Asia Tenggara.
Peranan ASEAN menyelesaikan masalah hak asasi manusia dapat dilihat selama perang Vietnam. ASEAN menjadi media dalam menyelesaikan masalah antara Vietnam dan Kamboja. ASEAN atas inisiatif Indonesia mengadakan konferensi internasional tentang Kamboja. The Jakarta Conference on Cambodia dilaksanakan pada bulan Mei 1970 dengan tujuan mencari penyelesaian damai bagi masalah Kamboja.[17] Negara anggota ASEAN secara bersama-sama menentang pendudukan Vietnam atas Kamboja. Negara ASEAN juga mensponsori resolusi PBB yang menghimbau agar pasukan asing menarik diri dari wilayah Kamboja. Stabilitas Kamboja diharapkan mampu untuk menjaga ASEAN dari pengaruh komunisme.
Permasalahan Kamboja dapat diselesaikan melalui Persetujuan Paris yang ditandatangani pada tanggal 8 Oktober 1989. Persetujaun tersebut dapat tercipta berkat diadakannya Paris International Conference on Cambodia (PICC). Penyelesaian masalah Kamboja ini menunjukan 3 hal penting:
1. ASEAN menunjukan peranannya dalam memainkan peranannya sebagai peace maker. Negara anggota ASEAN juga mampu untuk mempertahankan kesatuannya di dalam forum-forum internasional.
2. ASEAN mampu untuk mengangkat isu Kamboja ini menjadi isu internasional. Hal ini tidak lepas dari keterbatasan sumber daya negara anggota ASEAN dalam menyelesaikan masalah ini.
3. ASEAN dalam menyelesaikan perselisihan ini dapat melindungi hak-hak warga negara anggotanya, dalam hal ini Vietnam dan Kamboja, yang selama ini menjadi korban konflik bersenjata kedua negara. ASEAN juga mampu untuk melindungi hak asasi manusia dari para tentara yang menjadi tawanan perang (Missing In Action/MIAs).
II. Peranan ASEAN Human Rights Body dalam Menyelesaikan
Isu hak asasi manusia menjadi isu global sejak penandatangan Universal Declaration on Human Rights. Peraturan mengenai masalah hak asasi manusia mengalami peningkatan sejak saat itu.[18] Permasalahan hak asasi manusia tidak lagi menjadi permasalahan yang hanya dapat ditangani oleh negara lokal atau melalui hubungan diplomatik saja.
Penegakan hak asasi manusia dianggap sebagai pelaksanaan jus cogens dalam hukum internasional. Jus cogens dianggap sebagai sumber hukum internasional yang paling memaksa/ autoratif.[19] Jus cogens tidak seperti peraturan hukum internasional lainnya tidak membutuhkan pengakuan dari negara agar dapat menjadi sebuah norma dalam negara tersebut. Semua negara di dunia mempunyai kewajiban untuk mematuhi segala norma yang termasuk ke dalam jus cogens.
Salah satu krisis yang menjadi sorotan baik dari dalam kawasan maupun dari luar kawasan ASEAN adalah krisis HAM. Kasus pelanggaran HAM banyak terjadi di dalam wilayah ASEAN, mulai dari invasi Kamboja ke Vietnam, Kasus Mei 1998 di Indonesia, hingga Kasus Auung San Suu Kyi di Myanmar. Kasus pelanggaran HAM ini dapat menggangu stabiltas keamanan dan ekonomi di dalam kawasan secara menyeluruh.



[1]J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, edisi Kesepuluh, diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djajaatmadja, (Sinar Grafika, Jakarta: 2004), hal 8
Pada awal mulanya perkembangan organisasi internasional bermula dari hubungan bilateral antar negara yang telah berkembang sejak zaman Yunani dan Romawi kuno. Pada perkembangan berikutnya permasalahan timbul, yang pada dasarnya sama dengan hubungan bilateral, yang melibatkan banyak negara. Permasalahan ini membutuhkan serangakain perundingan yang menghasilkan banyak sekali perjanjian. Hal ini dianggap tidak prkatis sehingga dibutuhkan sebuah badan yang dapat mempertemukan kepentingan banyak negara tersebut sehingga permasalahan yang ada dapat diselesaikan dalam waktu relative singkat.
[2]Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional, (PT Alumni, Bandung: 2003), hal 101



[3]DW Bowett, The Law of International Institutions 4th edition, (Steven & Sons, London: 1982), pg 1

[4]Anthony Aust, Modern Treaty Law and Practice, (Cambridge University Press, London: 1999), pg 81
Sebuah negara dapat tergabung dalam sebuah organisasi internasional apabila negara tersebut telah meratifikasi konvensi pembentukan organisasi internasional tersebut. Ratifikasi menurut Vienna Convention on Law of Treaty adalah, “the international act so named whereby a State establishes on the international plane its consent to be bound by a treaty”. Ratifikasi tersebut dilakukan oleh wakil negara tersebut yang ikut serta dalam perundingan penyusunan konvensi tersebut. Pada praktiknya ratifikasi tersebut harus mendapat persetujuan oleh badan legilatif dan eksekutif. Akan tetapi tidak semua konvensi harus mendapat persetujuan kedua lembaga tersebut. untuk masalah-masalah yang bersifat teknis pelaksanaan ratifikasi konvensi dapat diberikan oleh lembaga eksekutif saja.
Inggris menerapkan praktek yang berbeda dengan negara-negara lain. Inggris menerapkan perbedaan antara (i) kaidah-kaidah hukum internasional dan (ii) kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh traktat-traktat. Inggris menganggap kaidah hukum internasional bagian dari hukum nasional (law of the land) dan akan diberlakukan oleh pengadilan-pengadilan Inggris. Kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh traktat-traktat ditentukan oleh prinsip-prinisp konstitusional yang mengatur tentang hubungan antara lembaga eksekutif dan Parlemen.

[5]J.G Starke, Op. cit, pg 85
ICJ dalam memberikan pendapatnya mengenai kedudukan PPB berpendapat:
“In the opinion of the court, the organization was intended to exercise and enjoy, and is in fact exercising and enjoying functions and rights which can only be explained on the basis of the possession of a large measure of international personality and the capacity to operate upon an international plane…Accordingly, the Court has come to the conclusion that the Organization is an international person. That is not the same thing as saying that it is a State, which is certainly not, or that its legal personality and rights and duties are the same those of a State. Still less is it same thing saying that it is ‘a super-State’, whatever the expression may mean. It does not even imply that all its rights and duties must be upon the international plane, any more that all the rights and duties of a State must be upon than plane. What it does mean is that it is a subject of international law and capable of possessing international rights and duties, and that it has capacity to maintain its rights by bringing international claims.”
[6]Ibid, pg 85

[7]Lokakarya “ASEAN Human Rights Body Berbagai Telaah Strategis”, dilaksanakan di Depok pada tanggal 25 Mei 2009.
[8]Sekretariat Nasional ASEAN Departemen Luar Negeri, ASEAN Selayang Pandang, (Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta: 1992), hal iii
Pada Deklarasi Bankok disebutkan 5 tujuan ASEAN, yaitu:
1. To accelerate the economic growth, social progress and cultural development in the region through joint endeavours in the spirit of equality and partnership in order to strengthen the foundation for a prosperous and peaceful community of South-East Asian Nations;
2. To promote regional peace and stability through abiding respect for justice and the rule of law in the relationship among countries of the region and adherence to the principles of the United Nations Charter;
3. To promote active collaboration and mutual assistance on matters of common interest in the economic, social, cultural, technical, scientific and administrative fields;
4. To provide assistance to each other in the form of training and research facilities in the educational, professional, technical and administrative spheres;
5. To collaborate more effectively for the greater utilization of their agriculture and industries, the expansion of their trade, including the study of the problems of international commodity trade, the improvement of their transportation and communications facilities and the raising of the living standards of their peoples.

[9]Sekiguchi Sueo dan Noda Makito, Road to ASEAN-10 Japanese Perspectives on Economic Integration, (JCIC, Tokyo: 2000), pg 3

[10]Piagam ASEAN, yang ditandatangani pada tanggal 15 Desember 2008, memuat antara lain: tujuan dan prinsip ASEAN, hak dan kewajiban negara anggota ASEAN, struktur dan fungsi kelembagaan ASEAN, mekanisme dan proses pengambilan keputusan ASEAN, penyelesaian sengketa antara negara anggota ASEAN, danhubungan eksternal ASEAN dengan pihak luar. Garis besar tersebut diikuti dengan 8 pokok-pokok penting, antara lain:
a) pembentukan ASEAN Human Rights Body;
b) pencantuman konsep regional resilience, comprehensive security, good governance and rule of law, dan demokrasi;
c) mengatur tindakan/respon yang merupakan tanggapan apabila terjadi ketidakpatuhan (non compliance) dan pelanggaran terhadap isi ASEAN Charter;
d) menekankan pada kedaulatan dan integritas territorial serta tidak menggunakan wilayah ASEAN untuk upaya yang mengancam dan integritas suatu wilayah negara;
e) pembentukan single market dan production base serta upaya memfasilitasi arus perdagangan, investasi, modal, serta pergerakan pelaku usaha dan tenaga kerja;
f) menerapkan mekanisme penyelesaian sengketa secara damai;
g) diperkuatnya peranan Sekretaris Jenderal (Sekjen) ASEAN;
h) memperkuat Sekretariat ASEAN dan menyepakati pembentukan Committee of Permanent Representatives.

[11]Termsak Chalermpalanupap, “10 Facts about ASEAN Human Rights Cooperation”, Lokakarya ASEAN Human Rights Body: Berbagai Telaah Strategis, Depok 25 Mei 2009
Gagasan mengenai perlunya kerja sama dalam membentuk sebuah nilai dan pendekatan dalam penegakan hak asasi manusia timbul pada saat Joint Comunique at the 26th ASEAN Ministerial Meeting (AMM) di Singapura pada tanggal 23-24 Juli 1993. Para menteri luar negeri negara anggota ASEAN pada saat itu menyatakan:
“The Foreign Minister welcomed the international consensus…, and reaffirmed ASEAN’s commitment to and respect for human rights…. The Foreign Minister agreed that ASEAN should coordinate a common approach on human rights and actively participate and contribute to the application, promotion, and protection of human rights”

[12]Departemen Luar Negeri Republik Indonesia (a), ASEAN Selayang Pandang, (Sekretariat ASEAN Departemen Luar Negeri, Jakarta: 1992), hal 136
Raison d’etre pembentukan ASEAN didasarkan pada kehendak politik, yaitu keinginan bersama untuk menciptakan stabilitas regional yang sangat diperlukan dalam membangun perekonomian nasional negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Namun demikian dokumen pembentukan ASEAN (Deklarasi Bangkok) hanya membicarakan mengenai masalah rencana kerja sama di bidang ekonomi dan sosial budaya, sedangkan masalah kerja sama di bidang politik dan keamanan tidak disinggung sama sekali. Kerja sama dalam bidang politik dan keamanan di dalam internal anggota ASEAN dilaksanakan secara bilateral maupun trilateral.

[13]Pada tahun 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat wilayah administrasi, Kalimantan provinsi Indonesia terletak di Selatan. Kerjaan Brunei terletak di Utara, dan dua koloni Inggris yaitu Sarawak dan Sabah. Permasalahan berawal ketika Malaysia berkeinginan untuk menggabungkan Singapura, Sabah, dan Sarawak dengan Persekutuan Tanah Melayu. Keinginan tersebut ditentang oleh Presiden Soekarno yang menganggap Malaysia sebagai boneka Britania dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris dalam kawasan tersebut sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Singapura yang merupakan bagian dari Malaysia walaupun keluar di kemudian hari, terkena dampak infiltrasi dengan adanya ledakan bom MacDonald house.
[14]Departemen Luar Negeri (b), Seperempat Abad ASEAN, (Sekretariat ASEAN Departemen Luar Negeri, Jakarta: 1994), hal 18
Kerja sama politik dan keamanan untuk pertama kali dilakukan pada Pertemuan Khusus Menteri Luar Negeri ASEAN di Kuala Lumpur, November 1971, yang membahas tentang penerimaan Deklarasi Kuala Lumpur 1971 mengenai Konsep Zone of Peace, Freedom, and Neutralty (ZOPFAN). ZOPFAN mengegaskan bahwa ASEAN akan mengusahakan pengakuan dan penghormatan terhadap suatu zona yang damai, bebas, dan netral, bebas dari pengaruh luar di dalam wilayah ASEAN. ZOPFAN diangkat menjadi kerangka bagi kerja sama politik ASEAN.

[15]Non-intervensi merupakan suatu prinsip atau norma dalam hubungan internasional dimana suatu negara tidak diperbolehkan untuk mengintervensi hal-hal yang pada pokoknya termasuk dalam urusan atau permasalahan dalam negeri (yurisdiksi domestik) negara lain. Setiap negara diberikan kebebasan (diizinkan) untuk menentukan sendiri urusan atau permasalahan tersebut secara bebas tanpa campur tangan dari pihak manapun di atas prinsip kedaulatan suatu negara. Prinsip non intervensi merupakan salah satu prinsip paling penting dalam ASEAN. Prinsip non-intervensi dituangkan dalam Deklarasi Bangkok untuk menekankan pentingnya ‘perlindungan dari intervensi eksternal’ bagi perkembangan dan preservasi identitas negara tersebut.
Penerapan prinsip non intervensi tidak lepas dari penerapan kedaulatan dari suatu negara. Kedaulatan adalah:
“supreme dominion, authority, or rule; the supreme political authority of an independent state; the state itself.”
Negara berdaulat adalah:
”a state that possessed an independent existence, being complete in itself, without being merely part of larger whole to whose government it is subject; a political community whose members are bound together by the tie of common subjection to some central authority, whose commands those members must obey.”
[16]Departemen Luar Negeri (b), Op. cit, hal 19
Peranan ASEAN sebagai sebuah institusi memainkan peranan tidak langsung dalam menyelesaikan konflik internal anggotanya. Pada awal kehadirannya ASEAN telah mampu untuk menyelesaikan perselisihan antar anggotanya yang dapat membahayakan kelangsungan kerja sama regional, yakni krisis Sabah, antara Malaysia dan Filipina, serta krisis dalam hubungan bilateral Indonesia-Singapura.
Krisis Sabah timbul akibat klaim Presiden Macapagal atas wilayah Sabah sebagai bagian dari Filipina yang mewarisi kesultanan Sulu. Krisis Indonesia dan Singapura timbul akibat penjatuhan hukuman mati 2 anggota mariner Indonesia oleh pemerintah Singapura.

[17]Ibid, hal 33
Pendudukan Kamboja oleh tentara Vietnam menghadapkan ASEAN pada berbagai tantangan. Secara resmi ASEAN mempunyai sikap bersama yang anti-Vietnam akan tetapi sikap bersama tersebut dijalankan secara berbeda oleh masing-masing anggota ASEAN. Penyelesaian sengketa di semenanjung Indo-Cina dipandang sebagai salah satu upaya dalam mewujudkan ASEAN sebagai daerah yang damai, bebas, dan netral. Penyelesaian konflik Vietnam-Kamboja menunjukan komitmen ASEAN dalam menyelesaikan masalah di dalam wilayah ASEAN.

[18]Francisco Forrest Martin, et al, International Human Rights and Humanitarian Law Treaties, Cases, and Analysis, (Cambridge University Press, London: ), pg 22
Peraturan mengenai permasalahan hak asasi manusia menjadi perangkat utama dalam menegakan hak asasi manusia di seluruh dunia. Sejak peningkatan perangkat peraturan tersebut semakin banyak badan hukum atau organisasi internasional atau kasus yang diajukan kepada pengadilan internasional berdasarkan atas peraturan yang tercantum dalam peraturan tersebut.

[19]Hakim Rozakis mendefinisikan jus cogens:
“a theoretical inference whose function is actually discernible through the legal norms bearing its peculiar traits”
Vienna Convention on the Law of Treaties mendefinisikan jus cogens:
“a norm accepted and recognized by the international community of States as a whole as a norm from which no derogation is permitted and which can be modify only by subsequent norm of general international law having the same character”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar