Selasa, 12 Januari 2010

Peranan Bank Indonesia Sebagai Last Money Lender

iBAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Pada saat ini keberadaan Kasus Bank Century tidak dapat dipungkiri telah menyita perhatian masyarakat luas. Kasus Bank Century sedikit banyak telah membuka mata publik tentang seluk beluk perbankan di Indonesia. Kasus ini mendapatkan perhatian public karena telah menelan sejumlah besar uang negara untuk menyelamatkan Bank Century dari keterpurukan. Kasus menjadi lebih menarik dengan beredarnya isu-isu adanya kepentingan orang-orang tertentu dalam menyelamatkan bank tersebut.
Pada sisi perbankan kasus Bank Century menjadi menarik karena dalam kasus ini menggambarkan bagaimana pernan BI sebagai bank sentral memainkan peranannya dalam menyelamatkan stabilitas perbankan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari argumentasi Bank Indonesia yang menjadi dasar keputusan Bank Indonesia untuk menyelamatkan Bank Century adalah kekhawatiran akan adanya kegagalan sistemik jika Bank Century tidak diselamatkan.
Bank Indonesia sebagai institusi bank sentral mempunyai wewenang untuk mengawasi dan menjaga kestabilan dunia perbankan Indonesia. Bank Indonesia sebagai bank sentral adalah otoritas tertinggi dalam mengambil kebijakan moneter nasional. Bank sentral, dalam pengertian umum adalah sebuah lembaga yang diserahi tugas untuk mengontrol sistem keuangan dan perbankan. Guna menjalankan peranannya itu, bank sentral umumnya diberi monopoli untuk mengeluarkan uang dan wewenang prerogatif untuk mengatur jumlah uang beredar.[1]
Secara konsep istilah ”sentral” dalam ”bank sentral” mengandung pengertian bahwa bank tersebut mengemban tugas sebagai pelayan publik yang bersifat memenuhi kepentingan umum (Public Purpose).[2] Hal ini memberikan indikasi bahwa bank sentral tersebut tidak mencari keuntungan, tetapi mempengaruhi pasar uang dan memberi efek terhadap struktur perbankan pada umumnya.[3]
Sebagai suatu lembaga negara yang independen, Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tersebut. Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga. Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih efektif dan efisien.
Sebagai lembaga yang independen, Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam pelaksanaan tugasnya. Secara struktural Bank Indonesia berada diluar pemerintah sehingga dapat mengeliminir adanya intervensi terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia baik yang berasal dari pemerintah maupun pihak lain.[4]
Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.[5] Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain.[6] Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah.
Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas ini adalah:[7]
1. menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
2. mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan
3. mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia.
Ketiganya perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien.
Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter Bank Indonesia berwenang untuk:
A. menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi;
B. melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara yang termasuk tapi tidak terbatas:
1. operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing;
2. penetapan tingkat diskonto;
3. penetapan cadangan wajib minimum;
4. pengaturan kredit dan pembiayaan.
Dalam rangka mengatur dan mengawasi perbankan[8], Bank Indonesia menetapkan peraturan:[9]
1. memberikan dan mencabut izin usaha bank;
2. memberikan izin pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor bank;
3. memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank; dan
4. memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan usaha tertentu.
Dalam pelaksanaan tugas ini, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan dengan menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian. Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap bank umum dilaksanakan secara langsung ataupun tidak langsung.[10] Pengawasan langsung adalah dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan. Pengawasan tidak langsung terutama dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis, dan evaluasi laporan bank.
Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan, selain memberikan dan mencabut izin usaha bank, Bank Indonesia juga dapat memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, serta memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.
I.2 Pokok Permasalahan
1. Bagaimana peranan dan langkah-langkah yang diambil oleh Bank Indonesia dalam menyelamatkan Bank Century?
2. Bagaimana Kegagalan Sistemik bisa terjadi dan apakah alasan tersebut dapat diterima sebagai alasan untuk menyelamatkan Bank Century?










BAB II
PERANAN BANK INDONESIA DALAM MENYELAMATKAN BANK
II.1 Posita Kasus Bank Century
PT Bank Century Tbk (BCIC) pada tahun 2005 menjadi agen penjual produk investasi yang dikeluarkan oleh PT Antaboga Delta Sekuritas.[11] Para nasabah Bank Century dijanjikan bunga yang tinggi oleh pihak bank sehingga para nasabah memindahkan uang mereka ke rekening PT Antaboga.[12] Seteleh diselidiki, ternyata produk investasi tersebut ternyata tidak mempunyai izin dari BAPEPAM-LK.[13] Setelah uang masuk ke dalam rekening PT Antaboga, dana tersebut kemudian diambil oleh Robert Tantular, pemegang saham mayoritas dari PT Bank Century Tbk. Robert Tantular juga mengajukan kredit kepada Bank Century.[14]
BI sudah melarang pihak Bank Century untuk menjual produk investasi tersebut. Pada tahun 2006 BI mendapati Bank Century masih menjual produk tersebut.[15] Setelah diselidiki ternyata tidak ada pencatatan pembukuan terhadap pembelian produk tersbut.[16] Temuan lain mencatatkan tidak adanya lambang Bank Century pada produk tersebut, padahal waktu diluncurkan pada tahun 2005 tercantum logo Bank Century.[17]
Pada Oktober 2008 pemegang saham mayoritas, yaitu: Robert Tantular, Rafat Ali Rizfi, dan Hesyam Al Waraq, atas desakan BI, berjanji untuk membayar surat berharga yang jatuh tempo serta menambah modal, hal ini dinyatakan dengan adanya right issue.[18] Pemegang saham tersebut juga berjanji untuk mencari investor baru guna menyelesaikan permasalahan bank. Akan tetapi janji tersebut tidak dipenuhi sehingga pihak bank tidak dapat memnuhi kewajibannya kepada nasabah. Giro Wajib Minimum (GWM) Bank Century pun dibawah batas yang ditetapkan oleh BI. Posisi CAR Bank Century pada 31 Oktober sebesar -3.2 persen.
BI membantu likuiditas Bank Century dengan memberikan pinjaman jangka pendek pada tanggal 14 November 2008 dengan syarat pemegang saham mayoritas Bank Century harus menepati letter of commitment.[19] Letter of commitment tersebut berisi antara lain komitmen untuk memindahkan surat berharga Bank Century ke bank kustodian di Indonesia, mengembalikan hasil pembayaran surat berharga yang jatuh tempo, dan berjanji tidak akan menjadikan surat berharga sebagai jaminan kepada pihak lain. Letter of commitment tersebut tidak dipenuhi oleh pihak Bank Century.
BI kembali membantu likuiditas Bank Century pada tanggal 18 November 2008 karena Bank Century gagal kliring.[20] Namun kondisi Bank Century yang semakin memburuk mengakibatkan Bank Century diserahkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada tanggal 21 November 2008. Pada 23 November 2008 LPS memberikan dana talangan sebesar Rp 2.78 Triliun untuk mendorong CAR Bank Century hingga sebesar 10%.
Pada tanggal 5 Desember 2009 LPS kembali menyuntikan dana sebesar Rp 2.2 Triliun agar Bank Century memenuhi persyaratan kesehatan perbankan. Pada akhir tahun 2008 aset Bank Century terhitung sebesar Rp 5.58 Triliun, rugi sebesar Rp 7.8 Triliun. Pada awal bulan Februari 2009 LPS kembali memberikan bantuan dana sebesar Rp 1.5 Triliun. Pada tanggal 21 Juli 2009 LPS kembali mengeluarkan dana sebesar Rp 630 Miliar.
II.2 Peranan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dalam menjaga kesehatan kondisi bank di Indonesia
R. G. Hawtrey (The Art of Central Banking, 1932) berpendapat bank sentral adalah suatu bank yang berperan sebagai sumber pinjaman terakhir bagi bank-bank (lender of the last resort). Dan untuk mendukung peranan tersebut, bank sentral juga harus mempunyai hak untuk menerbitkan uang kertas bank sebagai sumber dari perolehan dana bank sentral itu dalam pemberian jaminan. Vera Smith (Rational of Central Banking, 1936) menyatakan bahwa suatu bank dikatakan sebagai bank sentral apabila bank tersebut berperan sebagai pencetak dan pengedar uang kertas dengan hak monopoli dari pemerintah (the bank of issue). Kisch dan Elkin berpendapat bahwa bank sentral adalah suatu bank yang memiliki ciri yang paling hakiki, yaitu sebagai pemelihara stabilitas moneter yang baku yang mendukung kontrol terhadap peredaran moneter.
Salah satu fungsi Bank Indonesia yang diatur dalam peraturan perundang-undangan adalah mengatur dan mengawasi bank umum di Indonesia. Bank-bank umum di bawah pengendalian dan pengawasan Bank Indonesia, beserta dengan Bank Indonesia itu sendiri, membentuk sistem moneter nasional. Sistem moneter ini juga melibatkan lembaga-lembaga keuangan non-bank. Bank Indonesia mempunyai kewajiban untuk menjaga kestabilan sistem moneter nasional.
Bank Indonesia dalam menjaga kestabilan moneter nasional berwenang untuk menjaga dan memelihara cadangan kas-kas bank komersial. Dalam hal ini bank komersial diwajibkan untuk menyimpan suatu jumlah minimum tertentu (reserve requirement) pada bank sentral. Penyimpanan cadangan ini bisa berupa uang kertas maupun surat berharga. Bank Indonesia juga berwenang untuk Menyelenggarakan kegiatan kliring di antara bank-bank. Kliring (clearing) adalah sarana perhitungan market antar bank yang dilaksanakan oleh bank sentral guna memperluas dan memperlancar lalu lintas pembayaran giral dalam suatu wilayah kliring.[21]
Bank Indonesia sebagai bank sentral juga diberi fungsi dan wewenang untuk membina dan mengawasi kegiatan perbankan sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediary). Dalam menjalankan fungsinya itu, bank sentral mempunyai peranan khusus dalam sistem moneter sebagai sumber peminjaman bagi bank-bank (the banker’s bank) dan sumber terakhir bagi bank-bank untuk mendapatkan pinjaman ketika bank yang bersangkutan sedang mengalami kesulitan likiuiditas (lender of the last resort). Dalam fungsinya ini, bank sentral sekaligus juga berperan dalam mengembangkan sistem perkreditan yang sehat.[22] Bank Indonesia membantu manakala suatu bank gagal untuk memenuhi Giro wajib Minimum (GWM).
Semua fungsi dan wewenang ini dijalankan oleh Bank Indonesia dalam rangka menjami terciptanya kondisi perbankan yang sehat. Perbankan yang sehat menurut Manuel Guitian hanya dapat tercipta melalui pengawsan dan pengaturan yang ketat.[23] Isu kesehatan perbankan menjadi isu sentral manakala krisis perbankan melanda dunia. Perbaikan sistem pembayaran dan restrukturisasi perbankan menjadi permasalahan utama dalam menjaga fungsi perbankan pada umumnya. Tingkat kesehatan suatu bank dapat diukur dari Cash Ratio (CAR),[24] Aset yang dimiliki oleh bank tersebut, pengelolaan bank, pendapatan, dan tingkat likuiditas,[25] rentabilitas, solvabilitas, dan aspek-aspek lain yang berhubungan dengan bank. Bank juga diwajibkan untuk menjaga kesehatannya sendiri dengan cara melaksanakan kegiatan usahanya dengan prinsip kehati-hatian.
II.2.1 Bank Sentral di Negara Lain
i. Amerika Serikat
Amerika Serikat menamai bank sentral mereka The Federal Reserve System atau lebih dikenal dengan nama ”The Feds” berdiri pada tahun 1913. The Feds didirikan akibat dari kepanikan finansial yang terjadi di Amerika Serikat disekitar tahun 1873, 1884, 1893 dan 1907. Depresi ekonomi yang melanda Amerika Serikat itu menyebabkan masyarakatnya menderita dan menimbulkan besarnya tuntutan untuk diadakan reformasi ekonomi, salah satu tindakan reformasi ekonomi yang dilakukan adalah adalah pembentukan bank sentral.
ii. Jerman
Fungsi bank sentral diberikan kepada Deutsche Bundesbank (Bundesbank) yang dimulai dengan didirikannya Reinchsbank tahun 1875. Namun pada tahun 1922 Jerman mengalami inflasi yang sangat tinggi. Maka untuk mengatasi hal tersebut, Reinchsbank direformasi dengan dikeluarkannya undang-undang mengenai otonomi Reinchsbank yang memberikan kedudukan yang independen terhadap Reinchsbank.[26]
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, Reinchsbank diganti dengan Deutsche Mark. Reinchsbank dihapus dan digantikan dengan sistem bank sentral dua tingkatan, yang terdiri dari Bank Sentral Negara Bagian (Bank Deutsche Lander) yang secara hukum independen dan bak-bank negara bagian Jerman, dimana Bundesbank sebagai lembaga tertinggi.[27]
II.2.2 BI sebagai Lender of Last resort
Bank Indonesia bertindak sebagai lender of last resort, yaitu Bank Indonesia berfungsi sebagai pemberi pinjaman kepada bank dalam keadaan yang memaksa untuk menjaga likuiditas dari bank tersebut. Dalam hal ini Bank Indonesia melakukan penilaian terhadap keadaan suatu bank. Keadaan memaksa tersebut dapat berupa:[28]
a. Hal-hal yang membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkutan;
b. Hal-hal yang membahayakan sistem perbankan;
c. Terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional.
Ketika bank mengalami gagal kliring maka Bank Indonesia sebagai Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) akan menyerahkan bank tersebut ke dalam pengawasan Lembaga Penjamin Simpanan untuk direstrukturisasi.[29] Bank gagal kliring (failing bank) adalah bank yang mengalami kesulitan keuangaan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh LPP sesuai dengan kewenangan yang dimilkinya.
Bank gagal di dalam undang-undang ini di bagi atas 2 kategori, yaitu: bank gagal yang tidak berdampak sistemik dan bank gagal yang berdampak sistemik. LPS akan menyelamatkan bank gagal yang tidak berdampak sistemik jika bank tersebut memenuhi persyaratan, antara lain:[30]
1. Perkiraan biaya penyelamatan secara signikan lebih rendah dari perkiraan biaya tidak melakukan tindakan penyelamatan tersebut;
2. Bank menunjukan prospek usaha yang baik, jika diselamatkan;
3. Adanya pernyataan dari RUPS bank yang sekurang-kurangnya memuat:
a. Menyerahkan hak dan wewenang RUPS kepada LPS;
b. Menyerahkan kepengurusan bank ke dalam tangan LPS;
c. Tidak menuntut LPS atau pihak lain yang ditunjuk LPS apabila proses penyelamatan tidak berhasil, sepanjang LPS melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
4. Bank menyerahkan kepada LPS dokumen-dokumen mengenai:
a. Penggunaan fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia;
b. Data keuangan nasabah debitur;
c. Struktur permodalan dan susunan pemegang saham 3 (tiga) tahun terakhir;
d. Informasi lainnya yang terkait dengan aset, kewajiban, termasuk permodalan bank yang dibutuhkan LPS.
Jika bank gagal untuk memenuhi persyaratan disebut di atas atau LPS memutuskan untuk tidak melanjutkan proses penyelamatan maka LPS meminta pencabutan izin usaha bank yang dimaksud.[31]
LPS akan menyelamatkan bank gagal yang berdampak sistemik dengan mengikutsertakan pemegang saham, atau lazim dikenal dengan istilah open bank assistance. Proses penyelamatan tersebut hanya akan dilakukan jika:
1. Pemegang saham bank yang bersangkutan telah menyetor modal sekurang-kurangnya 20% dari perkiraan biaya penanganan;
2. Adanya pernyataan dari RUPS bank yang sekurang-kurangnya kesediaan untuk:
a. Menyerahkan hak dan wewenang RUPS kepada LPS;
b. Menyerahkan kepengurusan bank ke dalam tangan LPS;
c. Tidak menuntut LPS atau pihak lain yang ditunjuk LPS apabila proses penyelamatan tidak berhasil, sepanjang LPS atau pihak yang ditunjuk LPS melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
3. Bank menyerahkan kepada LPS, dokumen mengenai:
a. Penggunaan fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia;
b. Data keuangan nasabah debitur;
c. Struktur permodalan dan susunan pemegang saham 3 (tiga) tahun terakhir;
d. Informasi lainnya yang terkait dengan aset, kewajiban, dan permodalan bank yang dibutuhkan LPS.
Stabilitas dunia perbankan dapat dilihat dari tingkat keacakan peringkat kinerja bank, sebagai hasil dari persaingan pasar asupan maupun pasar keluaran. Hal ini ditunjukan oleh besarnya Entropi Relatif Dinamika Peringkat (EDRP) kinerja bank seluruh industry perbankan.[32] Stabiltas industry ini berkaitan dengan Entropi Absolout Dinamika peringkat individu. Keduanya merupakan turunan dari teori Markov.
Model Markov Tersembunyi atau lebih dikenal sebagai Hidden Markov Model (HMM) adalah sebuah model statistik dari sebuah sistem yang diasumsikan sebuah Markov Process dengan parameter yang tak diketahui, dan tantangannya adalah menentukan parameter-parameter tersembunyi (hidden) dari parameter-parameter yang dapat diamati.[33] Parameter-parameter yang ditentukan kemudian dapat digunakan untuk analisis yang lebih jauh, misalnya untuk aplikasi Pattern Recognition. Untuk dapat menerapkan analisa rantai Markov kedalam suatu kasus, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:
1. Jumlah probabilitas transisi untuk suatu keadaan awal dari system sama dengan 1 (satu);
2. Probabilitas-probabilitas tersebut berlaku untuk semua partisipan dalam system;
3. Probabilitas transisi konstan sepanjang waktu;
4. Kondisi merupakan kondisi yang independent sepanjang waktu.
II.3 Perbandingan dengan Negara Lain
i. Jepang
Dana bank sentral dalam rangka menyelamatkan krisis perbankan nasional, menurut Akira Nagashima dalam kasus Krisis Perbankan Jepang pada tahun 1994, dapat dibagi dalam 5 kateori.[34] Kategori I, pinjaman yang solvent tapi untuk sementara waktu tidak likuid. Pinjaman seperti umum ditemukan pada tipe pinjaman bank sentral sebagai last resort. Pada umumnya dana tersebut akan dikembalikan oleh bank yang bersangkutan. Kategori II, pinjaman yang diberikan pada bank yang insolvent akan tetapi membutuhkan bantuan sampai skema penyelamatan (resolution scheme) dapat dijalankan. Pembayaran pinjaman ini dapat dilakukan sesuai dengan kerangka skema penyelamatan. Kategori III, pembiayaan institusi perbankan yang mengalami kekurangan modal akan tetapi dengan bantuan pemerintah bank tersebut diharapkan akan kembali solvent. Bank dengan bantuan ini diharapkan dapat mencapai tingkt solvensinya atas usahanya sendiri. Kategori IV, pinjaman modal yang diberikan untuk membangun jaringan pengaman bank. Kategori V, pinjaman yang tidak termasuk ke dalam kategori yang telah disebutkan sebelumnya.
Keadaan Jepang pada saat itu tidak bisa dibandingkan dengan keadaan kondisi perbankan Indonesia pada saat terjadinya kasus Bank Century. Pada saat itu krisis perbankan Jepang melanda beberapa bank dan institusi keuangan non-bank secara bersamaan, seperti Hyogo Bank, Hanwa Bank, Kyowa Credit Cooperative, dan Anzen Credit Cooperative. Jika semua lembaga tersebut mengalami insolven maka ditakutkan terjadi sebuah kegagalan sistemik yang akan berdampak kepada perekonomian Jepang secara keseluruhan.
ii. Amerika Serikat
Amerika Serikat pada pertengahan abad ke-20 mengalami 2 krisis yang melanda bisnis perbankan. Krisis pertama diakibatkan oleh kekuatan makroekonomi yang terimbas dari krisis dan inflasi yang terjadi pada akhir tahun 1970 dan awal 1980. Krisis kedua dipengaruhi oleh kebijakan Kongres dan Lembaga Pengawas yang berusaha untuk mengatasi krisis pertama.
Reaksi pemerintah Amerika Serikat atas krisis industry perbankan pada awal 1980 terdiri dari 3 elemen, yakni: deregulasi, kesabaran, dan pemotongan pendanaan bagi pengawasan usaha yang lemah.[35] Deregulasi dinyatakan dengan pengesahan Garn-St. Germain Depository Institutions Act.[36] Peraturan tersebut memperbolehkan institusi keuangan mengeluarkan uang untuk tabungan masyarakat tanpa adanya batasan (interest ceiling). Kesabaran dinyatakan dengan tidak menutup atau menggabungkan lembaga keuangan yang bermasalah.[37] Hal ini dilakukan dengan harapan bahwasanya kesehatan lembaga tersebut akan menjadi lebih baik. Kebijakan ini juga diunyatakan dengan pembebasan standar akuntansi pada industri keuangan.[38] Pemerintahan Reagan pada terjadinya krisis menolak untuk menambah dana untuk lembaga otoritas pengawas keuangan, menunda penambahan dana untuk menyokong pelaksanaan pembiayaan lembaga keuangan, dan melindungi kepentingan lembaga-lembaga keuangan yang mengalami kesulitan.











BAB III
KEGAGALAN SISTEMIK
Bank cenderung untuk meniru bank lain. Bank cenderung untuk menyamakan diri mereka dengan mengeluarkan produk pinjaman yang serupa. Keinginan bank untuk mengeluarkan bergerak bersamaan satu sama lainnya. Akan tetapi sesuatu hal yang aman bagi suatu bank dapat menjadi sesuatu yang berbahaya bagi bank lain jika mereka melakukan hal yang serupa, biasanya hal ini menjadi titik awal terjadinya krisis. Bank juga melakukan pinjaman antar bank oleh karena itu kesulitan suatu bank akan mengakibatkan kesulitan pada bank lain. Kondisi seperti ini dikenal dengan kondisi kegagalan sistemik.
Pada saat ini tidak ada standar yang sama yang diterapkan oleh semua negara mengenai kegagalan sistemik. Achmad Deni Daruri berpendapat bahwa risiko sistemik harus dilihat dari perbandingan besar dana yang masuk dan keluar dari sebuah bank dibandingkan dengan total dana masuk atau keluar di industry perbankan itu sendiri. Ia menambahkan untuk menentukan kegagalan sistemik maka harus dapat diperkirakan seberapa besar precautionary demand yang akan ada jika bank tersebut ditutup. Bank Indonesia menetapkan 5 elemen standard penentu kegagalan sistemik, yaitu: dampak kepada institusi keuangan, dampak kepada pasar keuangan, dampak kepada sistem pembayaran, dampak pada psikologis pasar, dan dampak pada sektor riil. Oleh karena itu tindakan penyelamatan hanya dapat dihitung setelah tindakan tersebut diambil, dengan indikasi apakah sektor perekonomian akan menjadi lebih baik setelah tindakan penyelamatan atau tidak.
Pengenaan status sulit dilakukan karena adanya kekhawatiran akan timbulnya moral hazard di industry perbankan. Muliaman D Haddad menyatakan jika suatu bank ditentukan sistemik maka dikhawatirkan ada pelaku bisnis perbankan yang bertindak menyimpang karena oknum tersebut mengetahui bahwa bank tersebut akan di-bail out oleh pemerintah. Penentuan sistemik juga dikhawatirkan akan menimbulkan pelarian dana oleh masyarakat dari bank yang tidak sistemik ke bank yang sistemik.
Pemerintah terhadap kegagalan sistemik ini menganal prinsip too big too fail. Prinsip ini mewajibkan lembaga pengawas keuangan untuk menjamin para nasabah mendapatkan uang mereka kembali jika suatu bank insolvent. Salah satu contoh yang dapat dilihat ketika pemerintah mem-bail-out First Republic Bank of Dallas pada tahun 1988. Akan tetapi penetapan prinsip ini berisiko timbulnya moral hazard, ketika bank-bank besar lebih berani mengambil risiko dalam menjalankan usaha mereka.
Untuk mencegah terjadinya kegagalan sistemik aturan mengenai kesehatan bank tidak cukup menjamin keamanan sistem perbankan. Oleh karena itu dibutuhkan adanya peraturan macroprudential. Macroprudential dapat diartikan sebagai yang memfokuskan pada sistem keuangan sebagai sebuah keseluruhan dan menangani risiko keseluruhan sebagai sebuah bagian dari perilaku kolektif sebuah institusi. Aturan ini bertujuan untuk membatasi kesulitan-kesulitan agar tidak meluas serta membantu institusi mengeluarkan biaya-biaya yang timbul sebagai akibat dari kondisi keuangan yang tidak stabil. Oleh karena itu pengawasan microprudential, sebagai pengawasan terhadap risiko dan sistem, menjadi tren dalam dunia finansial untuk memberi peringatan terhadap ketidakstabilan finansial, menjadi bagian penting dalam dunia perbankan.
Pengawasan tersebut dapat dilakukan dengan metode Distance to Default, suatu metode untuk mengukur risiko memberi kredit kepada seorang debitor, metode Value at Risk, perkiraan besarnya nilai kerugian maksimum yang dialami pada saat kondisi tidak normal, dan metode Early Warning System, metode yang menghasilkan kemungkinan kerugian berdasarkan fakta-fakta sejarah.

KESIMPULAN
Bank Indonesia sebagai institusi bank sentral mempunyai wewenang untuk mengawasi dan menjaga kestabilan dunia perbankan Indonesia. Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Salah satu tugas Bank Indonesia melakukan pengaturan dan pengawasan perbankan di Indonesia. Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap bank umum dilaksanakan secara langsung ataupun tidak langsung. Pengawasan langsung adalah dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan. Pengawasan tidak langsung terutama dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis, dan evaluasi laporan bank.
Bank Indonesia dalam menjaga kestabilan moneter nasional berwenang untuk menjaga dan memelihara cadangan kas-kas bank komersial. Bank Indonesia sebagai bank sentral juga diberi fungsi dan wewenang untuk membina dan mengawasi kegiatan perbankan sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediary). Bank Indonesia sebagai bank sentral mempunyai peranan khusus dalam sistem moneter sebagai sumber peminjaman bagi bank-bank (the banker’s bank) dan sumber terakhir bagi bank-bank untuk mendapatkan pinjaman ketika bank yang bersangkutan sedang mengalami kesulitan likiuiditas (lender of the last resort).
Ketika bank mengalami gagal kliring maka Bank Indonesia sebagai Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) akan menyerahkan bank tersebut ke dalam pengawasan Lembaga Penjamin Simpanan untuk direstrukturisasi. Bank gagal kliring (failing bank) adalah bank yang mengalami kesulitan keuangaan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan. Bank gagal di dalam undang-undang di bagi atas 2 kategori, yaitu: bank gagal yang tidak berdampak sistemik dan bank gagal yang berdampak sistemik.
Pada saat ini tidak ada standar yang sama yang diterapkan oleh semua negara mengenai kegagalan sistemik. Risiko sistemik harus dilihat dari perbandingan besar dana yang masuk dan keluar dari sebuah bank dibandingkan dengan total dana masuk atau keluar di industry perbankan itu sendiri. Pengenaan status sulit dilakukan karena adanya kekhawatiran akan timbulnya moral hazard di industry perbankan. Untuk mencegah terjadinya kegagalan sistemik aturan mengenai kesehatan bank tidak cukup menjamin keamanan sistem perbankan. Oleh karena itu dibutuhkan adanya peraturan macroprudential. Macroprudential dapat diartikan sebagai yang memfokuskan pada sistem keuangan sebagai sebuah keseluruhan dan menangani risiko keseluruhan sebagai sebuah bagian dari perilaku kolektif sebuah institusi.



[1] Rahardjo, et al., Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah, (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia, 1995), hal. 17.
[2] Ibid, hal. 21.
[3] Nurtjahjo, Hendra, et. al, Eksistensi Bank Sentral Dalam Konstitusi Berbagai Negara (Pembahasan Kemandirian Bank Indonesia dalam Perspektif Hukum Tata Negara), (Depok: Pusat Studi Hukum Tata Negara, 2002), hal. 27.
[4] Sudarwanto, Barno. “Mengupayakan Bank Indonesia Yang Independen,” , 15 Desember 2009.
[5]Indonesia (a), UU Nomor 3 tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Lembaran Negara Nomor 7 tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357 tahun 2004, Pasal 7 ayat (1)
Fungsi tersebut dituangkan oleh Bank Indonesia dalam Misi dan Visi Bank Indonesia. Misi Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui pemeliharaan kestabilan moneter dan pengembangan stabilitas sistem keuangan untuk pembangunan nasional jangka panjang yang berkesinambungan. Visi Bank Indonesia adalah menjadi lembaga bank sentral yang dapat dipercaya (kredibel) secara nasional maupun internasional melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasi yang rendah dan stabil. Oleh karena itu Bank Indonesia telah menetapkan rencana jangka menengah panjang, yaitu:
Terpeliharanya Kestabilan Moneter
Terpeliharanya Stabilitas Sistem Keuangan
Terpeliharanya kondisi keuangan Bank Indonesia yang sehat dan akuntabel
Meningkatkan efektifitas dan efisiensi manajemen moneter
Memelihara SSK: (i) melalui efektifitas pengaturan dan pengawasan bank, surveillance sektor keuangan, dan manajemen krisis serta (ii) mendorong fungsi intermediasi
Memelihara keamanan dan efisiensi sistem pembayaran
Meningkatkan kapabilitas organisasi, SDM dan sistem informasi
Memperkuat institusi melalui good governance, efektivitas komunikasi dan kerangka hukum
Mengoptimalkan pencapaian dan manfaat inisiatif Bank Indonesia.
[6]Bank Indonesia, Tujuan dan Tugas Bank Indonesia, http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Fungsi+Bank+Indonesia/Tujuan+dan+Tugas/
[7]Indonesia (b), UU Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Lembaran Negara Nomor 66 tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843 tahun 1999, Pasal 8.
[8]Pasal 1 angka 1 UU Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan mendefinisikan perbankan sebagai segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. UU Perbankan tersebut mendefinisikan bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak.
Lloyd B Thomas mendefinisikan bank sebagai sebuah institusi yang menerima berbagai jenis simpanan dana masyarakat untuk kemudian menggunakan dana tersebut untuk memberikan pinjaman. Bank juga dianggap sebagai kunci sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediaries), yakni sebagai jembatan antara deposan dengan orang yang memiliki asset fisik, seperti rumah, peralatan, atau pabrik. Lembaga perantara keuangan ini menawarkan efisiensi secara ekonomis dengan cara menyediakan dana berlebih (surplus) dari masyarakat dan menyediakan dana tersebut kepada orang-orang yang ingin berinvestasi dalam bentuk asset fisik.
[9]Indonesia (b), Op. cit, Pasal 26
[10]Ibid, Pasal 27
[11]Kronologi Kasus Bank Century: Bank Century Awalnya Agen Antaboga, http://bisnis.vivanews.com/news/read/28729-bank_century_awalnya_agen_produk_antaboga, diakses pada tanggal 26 September 2009
[12]Berstaus Pemilik Baru Century, LPS Tolak Ganti Rugi Nasabah, http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=21159&cl=Berita, diakses pada tanggal 26 September 2009
[13]http://bisnis.vivanews.com/news/read/28729-bank_century_awalnya_agen_produk_antaboga
[14]http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=21159&cl=Berita
[15]http://bisnis.vivanews.com/news/read/28729-bank_century_awalnya_agen_produk_antaboga
[16]Ibid.
[17]Ibid.
[18]Surat Berharga Valas Bank Century Bermasalah, http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=22393&cl=Berita, diakses pada tanggal 26 September 2009
[19]Ibid.
[20]Ibid.
[21] Erawaty, Kamus Hukum Ekonomi, (Jakarta: Proyek Elips, 1996), hal. 19.
[22]Rahardjo, et al, Op. cit, hal. 21.
[23]Charles Enoch dan John H Green, ed, Banking Soundness and Monetary Policy, (Wasingthon: IMF Institute and Monetary Exchange Affair Department, 1997), hal 41
[24]Cash Ratio adalah rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga yang dihimpun dan harus segera dibayar oleh pihak bank. Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam membayar kembali simpanan nasabah pada saat ditarik menggunakan alat likuid yang dimilkinya. Alat likuid, menurut ketentuan Bank Indonesia, terdiri dari uang kas ditambah dengan rekening giro bank yang disimpan di Bank Indonesia.
[25]Likuiditas adalah kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya yang harus segera dipenuhi, atau kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban keuangan pada saat ditagih. Rasio likuiditas berguna untuk mengukur tingkat likuiditas suatu bank tentang cara menilai dan meningkatkan posisi keuangan perusahaan tersebut. Dalam mengukur atau menentukan tingkat likuiditas, suatu perusahaan perlu mempertimbangkan pengukuran yang mapan terhadap modal kerja, karena akibat kesalahan dalam penetapan, perusahaan akan dihadapkan pada hambatan dalam menyelenggarakan aktivitas perusahaan.
[26] Ryan Kiryanto, “Analisis Perbankan: Idealisasi Bank Sentral yang Independen dan Otonom: Belajar dari pengalaman Bundesbank,” Bank dan Manajemen 42 (Juli-Agustus 1998) Hal. 17-21, dikutip dalam Sinaga, Ibid., hal. 28-29.
[27] Ibid., hal. 29
[28]Indonesia (b), Op. cit, ps. 33.
[29]Indonesia (c), UU Nomor 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, LN Nomor 96 tahun 2004, TLN Nomor 4420 tahun 2004, Pasal 21 ayat (1)
[30]Ibid, Pasal 24 ayat (1)
[31]Ibid, Pasal 31 ayat (1)
[32]Muliaman D Haddad, et al, Dinamika Struktur Industri Perbankan, Risiko Stratejik Bank Serta Implikasinya Terhadap Stabilitas Sistem Keuangan, (Jakarta: Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia, 2006), hal 11
[33]Model Markov Tersembunyi, http://id.wikipedia.org/wiki/Model_Markov_tersembunyi
[34]Charles Enoch dan John H Green, Op. cit, hal 197
[35]Lloyd B Thomas, Money, Banking, and Financial Markets, (New York: McGraw Hill Companies Inc, 1997), pg . 259
[36]Ibid
[37]Ibid
[38]Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar